AM_SP-01


Serial ARYA MANGGADA

Episode III: SANG PENERUS

JILID 1

kembali | lanjut

AMSP-01KEDUA orang anak muda itu telah menyusuri jalan padukuhan Nguter yang menjadi sibuk karena persoalan Mas Rara. Beberapa orang prajurit masih nampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun Manggada dan Laksana berjalan semakin lama semakin jauh, sehingga keduanya telah meninggalkan pintu gerbang padukuhan. Sebuah padukuhan yang ternyata menyimpan persoalan yang justru menjadi rumit.

Sementara itu. panas matahari terasa menyengat kulit. Namun hijaunya batang padi di sawah, membuat udara terasa segar. Pohon turi yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan bulak telah memberikan perlindungan kepada para pejalan. Sementara bunganya setiap kali dipetik untuk dimasak bersama beberapa jenis dedaunan.

Parit di pinggir jalan mengalir deras. Airnya jernih menyusup di antara rerumputan yang tumbuh di tanggul. Di teriknya sinar matahari masih nampak beberapa erang bekerja di sawah. Menyiangi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batang padi.

“Kita sekarang akan pulang” berkata Manggada. Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jalan ini adalah jalan yang langsung menuju Pajang, meskipun kita tidak akan sampai ke Pajang pada hari ini”.

Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Bukankah kita masih mempunyai uang serba sedikit?”

“Kita masih mempunyai cukup uang. Kita belum banyak mempergunakannya dalam perjalanan” jawab Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Ternyata Mas Rara bukan gadis desa”.

Laksana tertawa. Katanya, “Gadis itu juga menuju ke Pajang hari ini”.

“Naik kereta” desis Manggada.

“Pengiringnya naik kuda” sahut Laksana.

“Jika demikian, kita akan mengambil jalan lain. Jika mereka juga mengambil jalan ini, mereka tentu akan melampaui kita” berkata Manggada.

“Ya. Mas Rara yang naik kereta itu bersama Nyi Partija Wirasentana akan melambaikan tangannya kepada kita” desis Laksana sambil tertawa.

“Kita harus mengambil jalan lain” berkata Manggada.

Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke simpang empat, Manggada telah mengajak Laksana berbelok meninggalkan jalan utama menuju ke Pajang.

Dengan demikian, mereka telah menempuh jalan yang lebih kecil. Namun mereka yakin, bahwa mereka tidak akan dapat menunjukkan jalan yang menuju ke Pajang.

Ternyata jalan yang lebih kecil itu justru telah melewati sebuah padukuhan yang besar. Di sudut padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang agaknya cukup ramai di pagi hari. Menilik luasnya dan beberapa gubug di tepi pasar yang dipergunakan oleh para pande besi, maka pasar itu merupakan pasar yang cukup penting. Setidak-tidaknya di hari pasaran sepekan sekali.

Tetapi ketika keduanya melewati jalan di sebelah pasar itu, maka pasar itu sudah menjadi sepi.

Meskipun demikian, masih juga ada sebuah kedai yang masih dibuka. Bahkan masih ada satu dua orang didalamnya.

“Kita berhenti sebentar. Aku haus” desis Laksana.

Manggada mengangguk. Ia pun merasa sangat haus setelah berjalan di bawah teriknya matahari di bulak panjang.

Di kedai itu Manggada dan Laksana itu mendengar beberapa orang yang telah ada di dalamnya berbicara tentang padukuhan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar pasar itu.

Seorang di antara mereka berkata, “Ternyata keadaan mulai menjadi buruk lagi. Perselisihan di antara kedua orang yang berpengaruh itu akibatnya tidak hanya menimpa mereka dan keluarga mereka. Tetapi orang-orang yang terkait dalam kerja dengan mereka pun terpengaruh pula”.

Manggada dan Laksana yang sedang minum minuman hangat itu pun tergoda untuk mendengarkannya. Namun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam hampir bersamaan. Ternyata yang mereka bicarakan benar-benar persoalan keluarga.

Seorang yang lain berkata, “Lamaran yang semula nampaknya akan diterima itu, kenapa tiba-tiba saja telah ditolak?”

“Kau benar-benar tidak tahu sebabnya?” orang pertama bertanya.

“Tidak”.

“Itulah. Semula keadaan membaik. Keduanya nampaknya akan mengijinkan anak-anak mereka menikah. Tetapi tiba-tiba keadaan menjadi buruk lagi ketika mereka mulai berbicara tentang air yang mengalir di antara sawah-sawah mereka yang sudah lama menjadi sengketa” jawab orang pertama.

Yang lain mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa persoalan air telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di antara kedua keluarga dari orang-orang yang berpengaruh di padukuhan itu. Nampaknya perselisihan itu akan diakhiri dengan perkawinan antara anak-anak mereka. Tetapi perkawinan itupun telah urung pula.

Manggada dan Laksana tidak menaruh banyak perhatian tentang persoalan keluarga itu. Namun yang kemudian menarik adalah justru ketika mereka berbicara tentang pasar yang cukup luas itu.

Dari pembicaraan mereka, Manggada dan Laksana dapat mengetahui bahwa pasar itu adalah pasar yang terbesar di antara tiga buah pasar yang ada di Kademangan mereka. Justru lebih besar dari pasar yang ada di Kademangan induk.

Namun pembicaraan mereka terputus ketika dua orang di antara mereka harus meninggalkan kedai itu.

“Kami masih harus melihat air. Jika kotak sawah kami sudah penuh, kami harus menutupnya. Kotak-kotak sawah yang lain tentu membutuhkannya” berkata salah seorang dari mereka yang meninggalkan kedai itu.

Manggada dan Laksana pun kemudian telah membayar harga minuman dan beberapa potong makanan. Ketika mereka keluar dari kedai itu, matahari sudah condong di sisi Barat.

Keduanya pun kemudian telah melanjutkan perjalanan melewati lorong di dalam padukuhan yang cukup besar itu. Beberapa rumah di pinggir jalan itu memang cukup besar dan rapi. Agaknya padukuhan itu termasuk padukuhan yang berkecukupan.

Namun ketika Manggada dan Laksana melewati tiga padukuhan yang disekat oleh bulak-bulak panjang, matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja tentu akan segera turun.

“Apakah kita akan bermalam di sini?” bertanya Manggada.

Laksana termangu-mangu. Padukuhan itu memang tidak sebesar padukuhan yang memiliki pasar terbesar di Kademangan- itu. Tetapi nampaknya padukuhan itu cukup ramai.

“Kita bermalam di padukuhan yang kecil dan sepi saja” berkata Laksana.

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Nampaknya di sini terlalu sibuk. Jika bermalam di banjar, agaknya di banjar padukuhan itupun banyak terdapat anak-anak muda atau orang-orang lain dengan kesibukannya” jawab Laksana.

Manggada mengangguk. Katanya, “baiklah. Kita melintas satu bulak lagi”.

Keduanya pun telah meneruskan perjalanan. Langit pun menjadi semakin suram. Matahari telah semakin rendah dan kemudian bertengger di punggung bukit. Namun sejenak kemudian, senja benar-benar turun.

Kedua anak muda itu telah memasuki sebuah padukuhan yang lebih kecil dan lebih sepi, sehingga Laksana menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat. Apalagi di pinggir padukuhan itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya cukup jernih.

Karena itulah, kedua orang anak muda itu telah menuju ke banjar padukuhan ketika malam mulai turun.

Ternyata banjar padukuhan yang tidak begitu besar itu nampak sepi. Lampu memang sudah dinyalakan, tetapi tidak ada seorang pun yang nampak di banjar maupun di halamannya. Agaknya orang yang menyalakan lampu minyak itu telah pergi pula meninggalkan banjar yang kosong itu.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun Manggada pun kemudian berdesis, “Suasana yang sesuai dengan keinginanmu. Sepi”.

“Ah” Laksana berdesah, “kita bertanya di rumah sebelah”.

Keduanya telah pergi ke rumah di sebelah banjar itu. Rumah yang juga tidak begitu besar meskipun halamannya cukup luas. Namun nampaknya tidak cukup terpelihara.

Ternyata pintu rumah itu sudah tertutup. Perlahan-lahan agar tidak mengejutkan pemilik rumah itu. Manggada mengetuk pintunya.

Sejenak kemudian, pintu rumah itu memang terbuka. Seorang laki-laki yang sudah lewat setengah abad berdiri termangu-mangu di belakang pintu.

“Siapa yang kalian cari anak-anak muda?” bertanya laki-laki itu.

Manggada pun kemudian menjelaskan, bahwa ia sekadar ingin bermalam di banjar. Tetapi banjar itu ternyata kosong meskipun lampu telah menyala.

“O, o. Mari. mari silahkan. Akulah yang telah menyalakan lampu di banjar itu” orang tua itu ternyata cukup ramah.

“Tetapi kami hanya ingin mohon ijin untuk bermalam di banjar” berkata Manggada.

“Banjar kami seluruhnya terbuka anak-anak muda” jawab orang tua itu, “angin malam akan berhembus mendinginkan darah kalian. Karena itu, jika kalian ingin bermalam, marilah, bermalam saja di rumahku. Aku jugalah yang melayani banjar itu. sehingga bagiku, kalian lebih baik bermalam di sini daripada di banjar. Jika ada air panas, aku tidak usah membawa ke banjar”.

“Tetapi, kami tidak ingin membuat Kiai menjadi sibuk” jawab Manggada, “kami hanya ingin tidur. Itu saja”.

“Sudahlah, marilah. Jangan segan-segan. Di rumah ini aku juga hanya sendiri” orang tua itu masih saja mempersilahkan.

Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Mereka pun kemudian telah melangkah masuk ke rumah orang tua itu.

Seperti halamannya yang kurang terpelihara, isi rumah itu-pun agaknya kurang terawat. Apalagi perabot rumah itu memang cukup sederhana. Tidak ada barang-barang yang berharga yang tampak. Tentu saja keduanya tidak tahu, apakah orang tua itu mempunyai simpanan atau tidak.

“Duduklah” orang tua itu mempersilahkan.

Manggada dan Laksana pun duduk di sebuah amben yang besar.

Ketika orang tua itu masuk ke sentong kiri sejenak, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan isi rumah itu. Selain amben besar tempat mereka duduk, mereka hanya melihat sebuah geledeg bambu yang agak besar. Ajug-ajug, tempat orang tua itu meletakkan dlupak minyak klentik yang sudah menyala. Apinya tampak bening dan tidak terlalu banyak mengeluarkan asap kehitam-hitaman.

Sejenak kemudian, orang tua itu telah keluar dari sentong kiri. Ternyata ia telah membenahi pakaiannya. Dikenakannya baju yang lebih pantas, serta merapikan rambutnya yang panjang di bawah ikat kepalanya.

“Di sini angger berdua tentu merasa lebih hangat daripada di banjar” berkata orang tua itu.

“Tetapi kami benar-benar tidak ingin merepotkan Kiai. Kami hanya ingin tidur. Besok pagi-pagi kami ingin melanjutkan perjalanan” jawab Manggada dan Laksana.

“Angger berdua itu akan pergi kemana?” bertanya orang tua itu.

Manggada dan Laksana sempat menceriterakan serba sedikit tentang perjalanannya. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin pulang.

“Apakah angger berdua sudah tahu, jalan manakah yang harus angger lalui?” bertanya orang tua itu.

“Tidak terlalu sulit. Kiai. Bukankah setiap orang akan dapat menunjukkan jalan ke Pajang? Setelah sampai di Pajang, kami dapat dengan mudah mencari jalan pulang” jawab Manggada.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah jika demikian. Tampaknya, angger berdua telah berpengalaman menempuh perjalanan”.

“Kami memang sedang menempuh perjalanan panjang. Mungkin jauh lebih panjang dari jalan yang seharusnya menuju ke Pajang, karena kami memang sedang mengembara. Kami ingin melihat seberapa jauhnya cakrawala”.

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Kalian tampaknya memang anak-anak muda yang haus akan pengalaman. Jika kau dekati cakrawala, maka cakrawala itu akan selalu saja tetap jauh. Jika cakrawala itu kemudian membentur gunung, maka cakrawala itu justru akan menghilang”.

“Itulah yang menarik, Kiai” jawab Manggada.

Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Katanya, “bagus anak muda. Pengalaman dapat memberikan banyak pengetahuan kepada kalian, asal kalian dapat menangkapnya dan mencerna dengan baik didalam dirimu”.

“Kami memang ingin melakukannya Kiai. Tetapi betapa bodohnya kami, sehingga apa yang kami alami, apa yang kami lihat, dan apa yang kami dengar, tidak menambah pengetahuan kami, sehingga kami masih saja tetap dungu” jawab Manggada.

Orang tua itu tertawa. Katanya, “kalian ternyata adalah anak-anak muda yang cerdas. Bukankah kalian ingin mengatakan, semakin banyak yang kalian ketahui, maka kalian merasa semakin banyak pula yang tidak kalian ketahui?”

Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun Laksana kemudian berkata, “Ya Kiai. Kami memang merasa demikian”.

“Bagus” orang tua itu mengangguk-angguk, “itu adalah pertanda bahwa pintu perbendaharaan ilmumu terbuka. Kau akan dapat menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan, maka itu adalah batas akhir dari kemampuannya, ia telah menutup pintu perbendaharaan pengetahuannya sendiri, sehingga orang yang demikian itu tidak akan dapat menambah ilmu dan pengetahuan lagi”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Menurut pendapat kedua anak muda itu, orang tua itu ternyata memiliki jangkauan penalaran yang jauh. Jauh lebih luas dari ujud kewadagannya yang sangat sederhana itu.

Tetapi kedua anak muda itu tidak mengatakan sesuatu tentang orang tua itu.

Namun orang tua itu tiba-tiba saja berkata, “Silahkan duduk anak muda. Aku akan merebus air”.

“Sudahlah Kiai. Terima kasih. Kiai pun sudah waktunya untuk beristirahat Bukankah Kiai tadi sudah berbaring?” bertanya Manggada.

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Aku mempunyai pohon jeruk pecel. Tentu sedap sekali untuk membuat minuman di malam yang dingin begini. Hanya daunnya. Bukan jeruknya. Aku juga mempunyai beberapa tangkap gula kelapa. Jangan kira aku membeli. Aku justru menjual gula kelapa, karena aku mempunyai beberapa batang pohon kelapa yang aku sadap air manggarnya”.

“Tetapi sudahlah Kiai. Kiai tidak usah menjadi sibuk karena kehadiran kami” berkata Laksana.

Orang tua itu justru tertawa. Katanya, “Aku ingin memanaskan tubuhku. Malam terasa sangat dingin.”

Manggada dan Laksana tidak dapat mencegahnya lagi. Orang tua itu kemudian meninggalkan keduanya di ruang tengah. Lewat pintu samping orang tua itu telah pergi ke dapur.

Ketika pintu samping terbuka, dan tengah bertiup menyibakkan kain yang menutup pintu sentong tengah yang tidak berdaun, kedua anak muda itu sempat melihat sebuah ploncon dengan tiga batang tombak di dalamnya, serta sebuah songsong yang berwarna kuning bergaris hijau.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Demikian orang tua itu pergi ke dapur, maka Manggada pun berkata, “Kau lihat songsong itu?”

“Ya. Tetapi apakah songsong itu milik Kiai pemilik rumah ini? Jika ia petugas banjar padukuhan ia tentu orang yang sudah terhitung lama tinggal di sini” jawab Laksana.

Manggada pun mengangguk-angguk. Namun songsong dan tiga batang tombak di sentong tengah itu, telah menimbulkan pertanyaan di hati kedua anak muda itu.

Ternyata orang tua itu cukup lama berada di dapur. Ia harus, membuat api, mengisi periuk dan menunggu air itu mendidih.

Di ruang dalam, Manggada dan Laksana menjadi gelisah. Bahkan Laksana pun berdesis, “Aku sudah mengantuk”.

“Orang tua itu sedang merebus air bagi kita. Jangan kecewakan dia” berkata Manggada.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, pintu samping telah terbuka lagi. Orang tua itu dengan nampan yang bulat terbuat dari kayu, telah membawa beberapa mangkuk minuman dan bahkan ketela rebus. Asapnya masih tampak mengepul di atasnya.

“Maaf, mungkin aku terlalu lama. Aku telah pergi ke kebun untuk memetik daun jeruk pecel dan mencabut dua batang ketela pohon” berkata orang tua itu.

“Ah, kami membuat Kiai menjadi sibuk sekali” desis Manggada.

“Tidak. Tidak. Aku senang masih ada orang yang mau datang ke rumahku” jawab orang tua itu seakan-akan di luar sadarnya.

Manggada dan Laksana saling berpandangan pula. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa.

Demikianlah. Sejenak kemudian, mereka telah menikmati rebus ketela dan minuman yang masih hangat. Seperti dikatakan oleh orang tua itu. Mereka menghirup wedang jeruk. Namun bukan jeruknya, tetapi daunnya sajalah yang dipakai untuk menyedapkan air yang telah mendidih, kemudian diberi beberapa potong gula kelapa.

Ketika kemudian angin malam menyusup di antara dinding-dinding yang berlubang, dan sekali lagi menyingkapkan kain penutup pintu yang tidak berdaun di sentong tengah, maka di luar sadar, Manggada dan Laksana telah memperhatikan lagi songsong dan tombak yang ada di sebuah ploncon yang besar di sentong tengah itu.

Ternyata orang tua itu tanggap. Karena itu, tanpa diminta orang tua itupun berkata, “Songsong itu adalah songsong titipan. Selain songsong itu ada tiga batang tombak yang menurut pemiliknya mempunyai tuah”.

Kedua anak muda yang mulai berkeringat oleh panasnya wedang jeruk dan ketela pohon yang masih hangat itu, mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengharap orang tua itu berceritera lebih banyak lagi tentang songsong dan tombak itu. Namun ternyata orang tua itu pun telah menghirup minuman panas dan makan ketela rebus itu pula. Bahkan telah mempersilahkan kedua anak itu untuk makan pula lebih banyak lagi.

Berapa saat Manggada dan Laksana menunggu. Tetapi orang tua itu tidak berceritera lagi tentang songsong dan tombak itu. Karena itu, Laksana yang ingin mengetahui lebih banyak telah bertanya, “Siapakah yang telah menitipkan songsong dan tombak-tombak itu?”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kalanya, “Sudah lama terjadi. Aku sendiri tidak tahu. Apakah, orang yang menitipkan benda-benda itu masih ingat atau tidak” orang tua itu berhenti sejenak. Lalu katanya, “Saat itu, banjar di sebelah masih dianggap banjar padukuhan ini”.

“Apakah sekarang sudah tidak?” bertanya Laksana.

“Orang-orang padukuhan ini telah membuat banjar yang lebih baik. Karena itu, banjar ini tidak lagi banyak dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja jika kegiatan di banjar yang baru itu sudah tidak menampung lagi. Karena itu, banjar ini tampak sepi. Hanya kadang-kadang saja para pemuda singgah beberapa lama duduk-duduk di banjar lama itu. Lalu meneruskan tugas mereka lagi mengelilingi padukuhan. Terakhir mereka kembali ke banjar baru”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka pun menganggap bahwa banjar itu memang terlalu sepi. Namun mereka pun kemudian mengetahui bahwa disamping banjar lama itu, sudah ada lagi banjar yang baru, sehingga hampir semua kegiatan padukuhan itu telah beralih ke banjar yang baru itu.

Tetapi kedua anak muda itu segera teringat kembali kepada pertanyaan mereka yang belum terjawab. Karena itu, Laksana pun kembali bertanya, “Tetapi, siapakah yang telah menitipkan pusaka-pusaka itu?”

“Itu sudah lama terjadi” jawab orang tua itu, “seandainya aku sekarang bertemu dengan orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu, aku sudah tidak akan dapat mengenalinya lagi”.

“Jadi, bagaimana seandainya ada orang lain yang berpura-pura memiliki pusaka-pusaka itu?” bertanya Manggada. Lalu, “Orang yang pernah mengetahuinya, datang dan mengaku bahwa orang itulah yang telah menitipkannya dan kemudian akan mengambilnya kembali”.

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Itu tidak mungkin ngger. Pada tangkai songsong itu terdapat karah besi baja. Di bawah karah besi baja itu, terdapat patung kecil yang kakinya tepat masuk pada karah besi itu. Patung seekor harimau yang terbuat dari perunggu. Nah, siapa yang membawa patung itu dan kakinya dapat masuk tepat pada lubang karah besi itu, barulah ia dapat mengambilnya”.

Manggada mengerutkan dahinya dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Jika orang yang memiliki patung itu telah melupakannya dan tidak akan mengambilnya lagi?”

“Benda-benda itu akan menjadi benda-benda yang tidak bertuan. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya” jawab orang tua itu.

“Bukankah dengan demikian benda-benda itu akan menjadi milik Kiai?” bertanya Manggada.

“Ah” orang tua itu tertawa. Katanya, “Tidak pantas aku memiliki benda-benda seperti itu. Yang pantas bagiku adalah cangkul dan barangkali bajak dan garu”.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada pun bertanya, “Kenapa patung kecil itu dilepas, Kiai. Apakah sengaja untuk menjadi pertanda bagi pemiliknya, atau karena perhitungan lain”.

“Yang penting adalah bagi pertanda itu. Tanpa pertanda itu, tidak seorang pun dapat mengambilnya. Tetapi sebenarnya patung kecil itu sejak sebelumnya memang sudah dilepas. Pemilik songsong itu tidak sampai hati melihat patung harimau yang kakinya melekat pada karah tangkai songsong itu. Jika songsong itu diletakkan pada tangkainya, maka kepala harimau itulah yang akan menjadi tumpuannya.” jawab orang tua itu.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum, Manggada bertanya, “Apakah orang yang memiliki songsong itu seorang yang hatinya sangat lembut, sehingga merasa belas kasihan terhadap sebuah patung?”

“Ya” orang tua itu mengangguk-angguk, “seorang yang hatinya memang sangat lembut. Seorang yang ramah dan berpandangan luas”.

“Apakah ia datang seorang diri dengan membawa songsong dan pusaka-pusaka itu?” bertanya Laksana.

“Tidak. Ia datang dengan beberapa orang pengiringnya” jawab orang tua itu. Lalu katanya, “Tanpa mau mengatakan tentang dirinya, asalnya dan tujuannya. Ia hanya mengatakan bahwa ia menitipkan songsong dan pusaka-pusaka itu. Pada suatu saat, akan diambilnya dengan pertanda yang dibawanya. Tetapi ternyata, sampai sekarang benda-benda itu masih belum diambilnya”.

“Sudah berapa tahun benda itu ada di sini?” bertanya Manggada.

“Sudah lama. Jauh sebelum Raden Panji Prangpranata berkuasa di daerah ini” jawab orang tua itu.

“Jadi kekuasaan Raden Panji Prangpranata juga terasa sampai di sini?” bertanya Manggada.

“Ya. Raden Panji yang semula menjadi gantungan harapan rakyat dengan menghalau kerusuhan di daerah ini, ternyata kemudian justru mencemarkan sekali” jawab orang tua itu.

“Apakah Raden Panji sering datang kemari?” bertanya Laksana.

“Perempuan di sebelah, kira-kira berantara empat rumah dari rumah ini, telah diambil menjadi isterinya. Tetapi entah apa yang terjadi, perempuan itu telah meninggal” jawab orang tua itu.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal orang tua itu.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal Raden Panji.

“Untunglah bahwa Raden Panji tidak mengetahui Songsong dan pusaka-pusaka yang ada di rumah ini. Jika ia mengetahui, mungkin benda-benda itu sudah diambilnya.” berkata orang tua itu pula.

Namun kemudian Manggada berkata, “Raden Panji telah diganti Kiai”.

“He?” orang tua itu terkejut, “darimana kau tahu?”

“Aku baru saja dari Nguter. Peristiwa pergantian kedudukan itu terjadi di Nguter” jawab Manggada.

“Siapakah yang menggantikan kedudukan Raden Panji sekarang?” bertanya orang tua itu.

“Ki Panji Wiratama” “jawab Manggada.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku belum mengenalnya. Tetapi mudah-mudahan caranya memerintah lebih baik dari Raden Pada Prangpranata.”

“Tampaknya begitu Kiai” jawab Manggada.

“Petugas yang baru itu tentu saja tidak tahu bahwa di rumah ini ada benda-benda pusaka yang dititipkan. Jika mereka mengetahui, dan berusaha untuk mengambilnya tanpa menunjukkan penanda sebagaimana yang diperankan oleh pemiliknya, aku tentu menjadi sangat bingung. Aku tidak berani menolak, tetapi aku juga tidak berani memberikan” berkata orang tua itu.

“Ki Panji Wiratama tidak akan berbuat seperti Raden Panji” berkata Manggada, “menilik sikapnya dan langkah-langkah yang diambilnya”

“Sebelum memegang kekuasaan” desis orang tua itu.

“Ya. Sebelum menggantikan kedudukan Raden Panji” jawab Manggada.

“Itulah ngger. Kadang-kadang seseorang dapat berubah karena kedudukannya. Kelengkapan duniawi yang mewarnai kehidupan seseorang, akan dapat menusuk sampai ke watak dan pribadinya, sehingga seseorang akan dapat menjadi orang lain. Tetapi mudah-mudahan tidak demikian dengan orang yang baru itu. Karena aku yakin bahwa masih ada orang yang tetap teguh berpijak pada pribadinya, meskipun ia mengalami banyak perubahan dalam hubungannya dengan tata kehidupan keduniawiannya” berkata orang itu.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Ya. Mungkin sekali hal seperti itu terjadi”.

“Ya anak-anak. muda” berkata orang tua itu bersungguh-sungguh, “kalian berdua masih muda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika pada suatu ketika kalian mendapat satu kedudukan yang tinggi, maka kalian jangan cepat berubah. Jika perubahan itu membuat kalian menjadi lebih baik, itu tidak mengapa. Tetapi jika sebaliknya”.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu berkata, “Marilah. Silahkan minuman hangat kalian”.

“Ya, ya Kiai” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

Namun rasa-rasanya kedua anak muda itu masih ingin mengetahui lebih banyak tentang pusaka-pusaka itu. Tetapi mereka tidak merasa pantas untuk mendesak orang tua itu untuk berbicara lebih banyak lagi.

Yang kemudian diceriterakan oleh orang tua itu adalah perkembangan padukuhannya. Meskipun perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin baik., “Kita sudah berhasil membuat sebuah banjar yang lebih baik, dan perbaikan-perbaikan yang lain yang mulai merata”.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka tidak begitu tertarik mendengar ceritera tentang padukuhan itu. Namun mereka tidak ingin menyinggung perasaan orang tua itu.

Tetapi tiba-tiba saja Laksana bertanya, “Apakah nama padukuhan ini Kiai?”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nama padukuhan ini singkat saja, seperti padukuhan yang kau sebut-sebut, Nguter. Nama padukuhan ini Ngandong. Termasuk Kademangan Ringin Sewu”.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orang tua itu masih juga berceritera tentang padukuhan dan Kademangan, tanpa menyinggung lagi tentang songsong dan pusaka-pusaka itu.

Baru setelah orang tua itu merasa puas dengan ceriteranya, iapun berkata, “Nah anak muda. Maaf, aku terlalu banyak berbicara. Kalian berdua tentu letih dan mengantuk. Silahkan angger berdua beristirahat”.

“Terima kasih Kiai” jawab keduanya hampir berbareng.

“Tetapi aku tidak mempunyai tempat yang lebih baik dari amben ini ngger. Aku persilahkan kalian tidur di amben ini” berkata orang tua itu.

“Terima kasih Kiai. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya” sahut Manggada. Namun ia masih juga bertanya, “Tetapi kenapa Kiai tinggal seorang diri di sini? Apakah Kiai tidak mempunyai sanak kadang?”

“Ada ngger. Aku sebenarnya mempunyai seorang anak laki-laki” jawab orang itu, “tetapi ia sudah dewasa dan berumahtangga. Sebenarnya, anakku minta aku tinggal bersamanya, namun padukuhan ini masih memerlukan aku, sehingga aku harus tetap tinggal di sini merawat banjar tua itu. Entahlah besok kalau aku menjadi semakin tua. Sementara anakku sama sekali tidak berminat untuk menggantikan tugasku merawat banjar tua ini”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Sementara orang tua itu berkata, “Silahkan beristirahat anak muda. Aku pun sudah mengantuk”.

Orang tua itu pun kemudian telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan dibawanya ke dapur.

Manggada dan Laksana memandangi ruangan itu sekilas. Kemudian mereka membaringkan diri. Mereka meletakkan pedang-pedang mereka di sisi tubuh mereka yang terbaring.

Bagaimanapun juga. kedua anak muda itu harus berhati-hati. Mereka berada di tempat yang tidak begitu dikenalnya. Karena itu, mereka telah sepakat untuk bergantian tidur. Namun mereka berdua tidak ingin menunjukkan sikap hati-hati kepada orang tua pemilik rumah itu. Orang tua itu akan dapat menjadi salah mengerti dan tersinggung karena merasa dicurigai.

Beberapa saat kemudian suasana di rumah itu telah menjadi hening. Orang tua pemilik rumah itu, yang membawa mangkuk-mangkuk ke dapur, telah kembali pula dan masuk ke dalam sebuah bilik kecil di sebelah kiri sentong tengah, tempat ia menyimpan songsong dan tiga batang tombak yang dikatakannya barang-barang titipan itu.

Sesekali angin memang menyingkap tirai sentong tengah itu, dan kedua anak muda itu dapat melihat songsong dan tiga batang tombak yang panjangnya tidak sama itu.

Ketika malam menjadi semakin hening, Manggada yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga, meskipun sambil berbaring, melihat orang tua itu keluar dari bilik kecilnya. Di bawah cahaya lampu yang redup, Manggada melihat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Diperhatikannya kedua anak muda yang disangkanya telah tertidur itu.

Perlahan-lahan orang tua itu melangkah ke sentong tengah. Kemudian hilang di balik tirai yang tergantung di lubang pintu yang tidak berdaun itu.

Manggada telah menggamit Laksana yang sudah mulai tertidur. Namun Manggada pun telah berdesis untuk memberi isyarat agar Laksana tidak bertanya kepadanya. Dengan isyarat pula, Manggada menunjuk pintu sentong tengah yang tertutup oleh tirai itu.

Tetapi ketika tirai itu tersingkap oleh angin yang menyusup lewat lubang-lubang dinding, kedua anak tidak itu melihat, orang tua pemilik rumah itu berjongkok di depan ploncon tempat ia meletakkan songsong dan ketiga batang tombak itu. Tangannya diletakkannya pada ploncon itu. Sedangkan kepalanya menunduk dalam-dalam.

Hal itu dilakukannya beberapa saat. Namun kedua anak muda itu tidak melihat orang tua itu keluar dari sentong tengah. Tangannya sibuk mengusap matanya, tanpa diketahui sebabnya. Apakah ada seekor binatang kecil masuk ke dalam mata tua itu, atau orang tua itu baru saja menangis.

Namun sejenak kemudian, orang tua itu justru melangkah mendekati Manggada dan Laksana yang baru tidur, meskipun hanya berpura-pura.

Kepada diri sendiri, orang tua itu bergumam, “Sebaiknya mereka meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar, sebelum orang-orang itu datang. Sayang, mereka datang pada saat yang tidak baik. Jika saja tidak ada persoalan apapun, aku ingin penahannya barang satu dua hari untuk menemani aku”.

Orang tua itupun kemudian melangkah meninggalkan Manggada dan Laksana kembali masuk ke dalam biliknya.

Manggada dan Laksana tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdua justru terdiam dan mencoba mengurai kata-kata orang tua itu.

Namun akhirnya justru kedua-duanya tertidur bersama-sama. Menjelang fajar, keduanya terkejut. Mereka mendengar pintu samping berderit keras. Ketika keduanya terbangun, mereka melihat orang tua itu masuk membawa mangkuk minuman hangat. Agaknya orang tua itu sudah lebih dahulu bangun dan menjerang air di dapur.

“Hampir fajar” berkata orang itu sambil tersenyum, “silahkan minum minuman hangat. Kalian tentu akan berangkat sebelum matahari terbit. Saat yang paling baik untuk memulai sebuah perjalanan. Mungkin kalian masih akan mandi lebih dahulu. Di belakang rumah ini ada pakiwan.”

Manggada dan Laksana kemudian bergantian pergi ke pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dengan timba upih yang tergantung pada senggol bambu yang panjang.

Namun kedua anak muda itu sempat berbicara tentang kata-kata orang tua yang sama-sama dapat mereka dengar.

“Tampaknya akan terjadi sesuatu di rumah ini” berkata Manggada.

“Ya. Itulah agaknya, dengan sengaja ia membuka pintunya agak keras, agar kita berdua terbangun karena ternyata kita berdua telah tertidur bersama-sama” sahut Laksana.

“Ia menghendaki agar kita meninggalkan tempat ini pagi-pagi sekali” desis Manggada

“Kita akan mengulur waktu” desis Laksana, “Ya. Aku pun ingin tahu apa yang akan terjadi. Apakah ada hubungannya dengan songsong dan tombak-tombak itu.” sahut Manggada

Laksana mengangguk-angguk. Mereka harus mendapatkan cara untuk dapat bertahan berada di tempat itu sampai orang-orang yang dimaksud oleh orang tua itu datang.

Sejenak kemudian, mereka telah duduk di ruang dalam rumah orang-tua yang tidak begitu besar itu. Minuman yang disediakan masih tetap hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa yang kehitam-hitaman.

“Marilah ngger” orang tua itu mempersilahkan, “mumpung masih pagi. Udaranya masih segar dan matahari-pun belum mulai naik”.

“Terima kasih Kiai” jawab Manggada sambil mengangkat mangkuknya. Demikian pula Laksana.

“Aku tidak dapat menyuguhkan apapun kecuali sekadar minum” berkata orang tua itu pula.

Keduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya sibuk meneguk minuman hangat dengan gula kelapa yang menurut orang tua itu dibuatnya sendiri.

“Maaf anak-anak muda” berkata orang tua itu kemudian, “sebentar lagi, aku harus berada di kebun kelapaku. Aku harus menyadap legen untuk membuat gula. Pekerjaan yang aku lakukan dua kali sehari”.

“Kiai masih memanjat dan menyadap sendiri ?” bertanya Manggada.

“Ya. Aku lakukan itu setiap hari, pagi dan sore” berkata orang tua itu,

“Kiai” tiba-tiba saja Laksana berkata, “apakah kami dapat membantu?”

Wajah orang tua itu berkerut. Katanya, “Tidak. Itu tidak perlu. Aku justru ingin mempersilahkan angger berdua mulai dengan perjalanan pagi-pagi, mumpung matahari belum terbit. Sementara aku pergi ke kebun kelapa. Aku harus mulai pagi-pagi sekali agar tidak kesiangan”.

“Kiai” berkata Manggada, “kami berdua tidak tergesa-gesa. Kami ingin mengucapkan terima kasih dengan melakukan apa saja pagi ini. Nanti setelah matahari sepenggalan. kami akan melanjutkan perjalanan”.

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tahu. Kalian berdua tentu masih ingin mendengar ceritera tentang songsong dan pusaka-pusaka itu. Marilah, aku akan menunjukkan kepada angger berdua agar angger tidak dibebani oleh perasaan ingin tahu. Benda-benda yang terlarang untuk disaksikan. Tetapi aku memang membatasi diri agar tidak terlalu banyak orang yang mengetahuinya. Jika demikian, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi”.

Sebelum kedua anak muda itu menjawab, orang tua itu telah melangkah ke sentong tengah. Disingkapkannya tirai pintu sentong tengah itu dan disangkutkannya pada uger-uger di sebelah.

“Marilah ngger. Silahkan melihat-lihat benda-benda titipan ini.” berkata orang tua itu.

Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Mereka pun telah masuk pula ke sentong tengah, sementara orang tua itu berlutut di depan ploncon tempat songsong dan tombak-tombak itu diletakkan.

“Inilah benda-benda itu ngger. Bukankah seperti songsong kebanyakan? Tampaknya memang songsong bertanda kebangsawanan, karena warnanya yang kuning emas itu dan lingkaran hijau di tengah-tengahnya.”

Manggada dan Laksana masih tetap berdiri tegak. Tetapi dalam cahaya pagi serta sinar lampu di ruang tengah, keduanya melihat karah tangkai tombak di bawah mata tombak itu terbuat dari logam yang berwarna kekuning-kuningan, “Emas” desis keduanya di dalam hati. Bahkan ketika mereka sempat melihat tombak yang bertangkai lebih pendek, karah itu bukan saja terbuat dari emas, tetapi terdapat pula permata yang gemerlapan.

Agaknya orang tua itu mengerti, apa yang diperhatikan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Sama sekali bukan emas dan permata. Tetapi logam-logam tiruan sehingga mirip seperti emas. Demikian pula permata itu”

“Meskipun tiruan. tetapi bentuknya bagus sekali Kiai” sahut Manggada.

“Nah, sekarang angger berdua telah melihatnya” desis orang tua itu sambil bangkit dan melangkah surut., “Marilah kita kembali ke ruang tengah”.

Ketiganya telah duduk kembali di amben yang besar. Sementara orang tua itu berkata, “Maaf angger. Sebentar lagi aku akan pergi ke kebun. Mungkin agak lama. Karena itu. maka biasanya aku menutup pinta depan rapat-rapat dan keluar lewat pintu butulan. Sementara itu, angger berdua dapat melanjutkan perjalanan angger.

“Kami berdua ingin ikut ke kebun Kiai. Kami benar-benar ingin membantu Kiai” jawab Manggada.

“Tetapi angger tentu tidak tahu caranya menyadap legen. Sekali salah potong, maka manggar itu tidak akan mengeluarkan legen lagi ngger. Setidak-tidaknya untuk satu janjang.” berkata orang tua itu,

“Kami tidak akan melakukannya Kiai. Tetapi kerja apapun yang dapat kami lakukan, Atau sekadar menunggui Kiai bekerja di kebun” desis Laksana.

Tetapi orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah, “Jangan ngger. Aku perintahkan angger meninggalkan rumah ini. Aku sama sekali tidak mengusir angger, tetapi aku memang tidak dapat berbuat lain”.

“Maaf Kiai. Kenapa Kiai berkeberatan jika aku masih ingin tinggal bersama Kiai barang sepagi ini?” bertanya Manggada.

“Aku tidak ingin terganggu ngger” jawab orang tua itu.

“Kiai, kami justru ingin berbuat sesuatu bagi Kiai, yang telah dengan senang hati menerima kami bermalam. Memberikan minuman dan makanan dengan ikhlas” berkata Laksana kemudian.

Tetapi orang tua itu pun berkeras. Katanya, “Sudah ngger. Aku sudah merasa berbuat sebaik-baiknya terhadap angger berdua. Kini angger berdua jangan mengecewakan aku”.

“Sama sekali tidak Kiai. Justru sebaliknya” jawab Laksana.

Wajah orang tua itu menegang. Dengan dahi yang berkerut orang tua itu berkata dengan nada yang semakin keras, “Tidak. Aku minta kalian pergi. Aku tidak dapat menerima kalian lebih lama lagi”.

“Kenapa Kiai berkeberatan membiarkan kami lebih lama berada disini? Apakah kami telah mengganggu Kiai?” bertanya Laksana pula.

“Ya” jawab orang tua itu tegas, “aku akan pergi ke kebun untuk menyadap legen. Selama itu kau akan dapat mengambil benda-benda yang agaknya kau kagumi dan membawanya lari”.

“Kiai” desis Laksana. Namun Manggada menggamitnya dan berkata, “Apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari hati Kiai? Jika demikian, alangkah nistanya kami berdua. Tetapi jika karena kecemasan itu, baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini”.

Orang tua itu memandang kedua anak muda itu berganti-ganti. Wajahnya tiba-tiba menjadi buram. Katanya dengan nada sendat, “Tidak ngger. Tidak. Aku sama sekali tidak mencurigai angger berdua. Tetapi aku tidak dapat membiarkan angger berdua tetap berada di rumah ini, meskipun hanya setengah hari. Kau datang pada waktu yang kurang baik.”

“Apakah sebenarnya yang akan terjadi Kiai? Jika Kiai berkata sebenarnya, sementara kami berdua dapat mengerti, maka kami tentu akan melakukannya” berkata Manggada.

Orang tua itu menunduk dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa benda-benda itu pada suatu saat akan mendatangkan kesulitan padaku”.

“Kesulitan apa Kiai?” bertanya Laksana tidak sabar.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang terasa berat baginya untuk mengatakan kepada kedua anak muda itu. Namun Manggada pun mendesaknya “Katakan Kiai. Kiai telah berbuat baik kepada kami. Apa yang telah Kiai lakukan, telah menumbuhkan kesan tersendiri di dalam hati kami. Dengan sikap Kiai terhadap kami, yang sebelumnya belum pernah Kiai kenal itu, menunjukkan bahwa Kiai memang seorang yang baik tanpa pamrih. Kiai pun tidak cemas bahwa semalam kami mencuri benda-benda berharga itu dan membawanya lari. Karena itu, ketika Kiai mengatakan bahwa Kiai mencemaskan benda-benda aku yakin bahwa itu bukan maksud Kiai yang sebenarnya untuk mencurigai kami”.

“Anak-anak muda” berkata orang tua itu, “baiklah aku katakan kesulitanku kepada kalian. Tetapi aku minta kalian jangan melibatkan diri. Biarlah aku sendiri yang mengalaminya” berkata orang tua itu.

“Aku akan mempertimbangkan Kiai” Jawab Manggada.

Orang tua itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ternyata seperti yang pernah angger tanyakan, bagaimana jika ada orang yang berpura-pura berhak atas benda-benda berharga itu?”

“Jadi ada seseorang yang mengaku berhak atas benda-benda itu. Kiai?” potong Laksana.

Orang tua itu mengangguk kecil. Katanya, “Seseorang telah datang, ia mengaku mendapat perintah dari pemilik songsong dan tombak-tombak itu. Tetapi ia tidak membawa pertanda sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Tidak ada patung perunggu berbentuk seekor harimau yang kakinya dapat tepat masuk ke dalam lubang di karah besi pada pangkal tangkai songsong itu. Tentu saja aku tidak dapat memberikannya sebelum orang itu dapat menunjukkan patung kecil itu”.

“Lalu. apakah orang itu memaksa Kiai?” bertanya Laksana.

“Waktu itu, orang itu menyatakan kesediaannya untuk mengambilnya. Hari ini ia akan datang kembali” berkata orang tua itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi orang itu tampaknya kurang meyakinkan. Aku juga kurang yakin bahwa ia akan datang dengan membawa pertanda yang sudah disepakati itu”.

“Jika ia tidak membawa?” bertanya Manggada.

“Aku tidak akan memberikannya” jawab orang tua itu.

“Bagaimana jika ia memaksa?” desak Laksana.

“Persoalannya jadi lain ngger. Sudah tentu aku akan tetap mempertahankannya. Tetapi aku harus menyadari bahwa aku adalah seorang tua yang lemah. Yang tentu tidak akan dapat berbuat banyak” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi aku tidak dapat memberikan benda-benda itu selagi aku masih ada”.

“Jadi, Kiai akan mempertahankannya sampai tuntas?” bertanya Manggada dengan cemas.

“Aku sudah tua ngger. Umurku tentu sudah tidak jauh lagi. Jika aku harus mati, maka tidak akan banyak bedanya. Apalagi aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kematian itu tidak akan dapat dipercepat akan ditunda. Jika aku harus mati, maka aku akan mati dengan sebab apapun juga” berkata orang tua itu, “Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat memper-tahankannya lagi”.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun berkata, “Biarlah aku berada di sini”.

“Jangan ngger. Sebaiknya kau tidak mengalami perlakuan buruk dari orang-orang yang tidak kau kenal dan tidak mempunyai sangkut paut apapun juga” berkata orang tua itu dengan nada rendah.

“Tetapi Kiai sudah berbuat baik terhadap kami” sahut Manggada, “apa gunanya kami membawa senjata di lambung jika kami akan menyingkir dari tindak kebajikan Kiai, aku akan tetap berada di sini dengan adikku”.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba memperingatkan kalian”.

“Ya, kami mengerti. Segala sesuatunya adalah tanggung jawab kami sendiri Kiai” desis Manggada.

Ternyata orang tua itu tidak dapat memaksa kedua anak muda itu untuk pergi. Ia memang menjadi cemas. Namun sesuatu terasa bergetar di dalam hatinya. Anak-anak muda itu ternyata memiliki jiwa yang besar serta kesediaan untuk melindungi sesama yang mengalami kesulitan.

Karena itu, orang tua itu tidak memaksa mereka lagi. Bahkan katanya kemudian, “Baiklah anak muda. Jika kalian berkeras untuk tinggal. Sekarang, marilah kita pergi ke kebun belakang. Aku akan menyadap legen dibelakang. Aku akan menyelarak pintu depan dan membuka pintu butulan yang langsung dapat diawasi dari kebun”.

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mengikuti orang tua itu keluar dari pintu belakang. Seperti kebiasaannya, orang tua itu membawa beberapa buah bumbung untuk mengganti bumbung yang telah dipasang kemarin sore.

“Mereka akan datang hari ini” desis orang tua itu sambil mendekati sebatang pohon kelapa.

Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Namun mereka tidak menjawab.

Sementara itu, orang tua itupun telah mulai memanjat sebatang pohon kelapa dengan membawa satu di antara bumbung-bumbungnya yang diikatnya dengan tali sabut pada lambungnya.

Meskipun orang itu sudah tua, namun dengan tangkasnya ia memanjat. Dalam waktu yang terhitung singkat, orang tua itu sudah bertengger pada pelepah pohon kelapa itu untuk melepas bumbung yang sudah terpasang. Kemudian memotong manggar itu dengan irisan-irisan tipis dan memasang bumbung yang baru untuk menerima titik-titik legen dari manggar yang telah diirisnya itu.

Sejenak kemudian, bumbung legen yang baru saja dilepas itupun telah dibawanya turun.

“Biarlah kami membantu membawa bumbung itu Kiai” berkata Laksana.

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Biasanya aku melakukannya sendiri”.

“Tetapi hari ini kami ada disini” jawab Laksana.

Orang tua itu tertawa kecil. Tetapi ia tidak berkeberatan memberikan bumbung-bumbung itu kepada Manggada dan Laksana.

Dari satu pohon, orang tua itu pergi ke pohon yang lain. Memang tidak cukup banyak. Tetapi beberapa batang pohon kelapa ia telah memberikan beberapa bumbung legen yang dapat dibuatnya menjadi gula kelapa.

Ternyata kerja itu telah membuat orang tua itu melupakan kegelisahannya. Yang masih saja gelisah, justru Manggada dan Laksana. Setiap kali mereka berpaling ke arah pintu butulan yang meskipun tertutup, tetapi tidak diselarak itu. Sementara mereka pun sadar, bahwa jika orang yang akan mengambil pusaka-pusaka itu datang, mereka tentu tidak akan masuk dengan diam-diam dan membawa lari benda-benda berharga itu.

Ternyata sampai batang kelapa yang terakhir, belum ada seorang pun yang datang memasuki halaman rumah orang itu. Sehingga orang tua itu sempat mengerjakan pekerjaannya yang lain. Menuang legen ke tempayan dan mempersiapkan pembuatan gula kelapa di serambi belakang rumahnya.

Manggada dan Laksana yang dipersilahkan duduk di dalam, ternyata lebih senang menunggui orang tua itu bekerja. Keduanya masih mengagumi tenaga orang tua itu yang bekerja dengan tangkasnya.

Sejenak kemudian, maka perapian pun telah menyala. Legen kelapa di tempayan itu pun kemudian diletakkan di atas perapian.

Dengan kayu bakar yang dikumpulkan di kebun serta dicampur dengan daun-daun kering yang dikumpulkan pagi-pagi ketika menyapu halaman, maka legen kelapa itu direbus sehingga menyusut. Pada akhirnya, legen itu menjadi semakin lama semakin kenthal dan siap dituang di tempurung kelapa sebagai alat untuk mencetak gula kelapa.

Namun orang tua itu sempat berkata kepada Manggada dan Laksana, “Tolong, cabut satu atau dua batang ketela pohon”.

“Untuk apa?” bertanya Manggada.

“Kita masukkan kedalam legen yang hampir siap dituang ini” berkata orang tua itu.

Manggada dan Laksana tahu benar maksud orang tua itu. Karena itu maka keduanya pun telah berlari-lari ke kebun, mencabut masing-masing sebatang ketela pohon. Dengan cepat mereka mengupasnya dan mencucinya. Kemudian membawa kepada orang tua di dapur rumahnya.

Tetapi ternyata orang tua itu sudah tidak berada disana. Sebagian gulanya sudah dituang di tempurung kelapa, namun yang lain masih di tempayan, bahkan diatas perapian. Untunglah bahwa api dari kayu-kayu seadanya dan daun-daun kering itu sudah padam dengan sendirinya, sehingga sisa legen di tempayan tidak kering.

Manggada cepat-cepat mengambil air dari persediaan di dapur, menuangkannya di tempayan secukupnya.

Kemudian memasukkan ketela pohon yang telah dikupasnya kedalamnya. Namun keduanya tidak lagi memperhatikan ketela pohonnya. Keduanya mulai memikirkan orang tua yang agaknya terpaksa meninggalkan gula kelapanya.

Dengan hati-hati Manggada dan Laksana melangkah memasuki rumah orang tua itu dari belakang. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar orang bercakap-cakap di-ruang dalam.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tanpa berjanji, keduanya telah mendengarkan percakapan di ruang dalam itu.

Sekali-sekali mereka mendengar suara orang tua itu gemetar. Namun kemudian terdengar suara orang lain yang nampaknya memang sudah ditunggu oleh orang tua itu. Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang.

Manggada dan Laksana memang menjadi tegang. Orang-.orang itu adalah orang-orang yang datang untuk mengambil benda-benda berharga yang dititipkan kepadanya.

Namun antara terdengar dan tidak seseorang berkata, “Ki Gumrah. Patung kecil itu sudah hilang. Yakinlah. Aku bukan orang lain dari orang yang menitipkan benda-benda pertanda kebangsawanan itu. Aku adalah pamannya”.

“Tetapi bagaimana aku tahu bahwa Ki Sanak adalah pamannya. Bagiku, siapapun orangnya, tetapi pertanda itu ada padanya, maka aku akan menyerahkannya. Bukankah hal itu sudah aku katakan ketika Ki Sanak datang kemari beberapa waktu yang lalu?” berkata orang tua yang disebut Ki Gumrah itu.

“Aku juga sudah menemuinya. Tetapi ia mengatakan bahwa patung kecil itu telah hilang sehingga ia tidak dapat memberikannya kepadaku” jawab orang itu.

“Maaf Ki Sanak” berkata orang tua itu, “aku masih tetap pada pendirianku, karena pemilik benda-benda yang dianggapnya berharga itu sendirilah yang berpesan”.

“Ki Gumrah” terdengar suara yang lain, “kau sudah tua. Sebaiknya kau tidak usah berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang memang bukan milikmu itu. Apakah keuntunganmu mempertahankan benda-benda itu?”

“Aku memang tidak mendapat keuntungan apa-apa Ki Sanak” jawab Ki Gumrah, “tetapi aku sudah berjanji untuk melakukannya. Bagiku janji mempunyai nilai yang tinggi”.

“Kau mempersulit dirimu sendiri” berkata orang yang datang itu, “jika kau berkeras untuk mempertahankan benda-benda yang bukan milikmu itu, maka kami terpaksa berkeras untuk membawanya. Pemilik benda-benda berharga itu berpesan kepada kami, agar benda-benda itu dapat kami bawa. Kemudian sudah berjanji bahwa kami akan kembali dengan membawa benda-benda itu. Sedang menurutmu, janji itu mempunyai nilai yang tinggi”.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat memberikan, benda-benda itu. Aku terikat pada janjiku. Sebagai orang tua aku justru harus berpegang kepada janji itu”.

“Jika demikian, kita masing-masing akan berpegang kepada janji yang telah kita ucapkan.” berkata orang yang pertama.

“Karena itu Ki Sanak” berkata orang tua itu, “usahakan agar pertanda itu kalian dapatkan, sehingga tidak akan terjadi kesulitan apapun juga”.

“Benda kecil itu sudah hilang. Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab orang itu.

“Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memberikannya” berkata orang tua itu.

“Kami akan mengambil sendiri” terdengar suara orang yang datang itu menjadi semakin keras.

Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Ki Gumrah sudah terlalu tua untuk mempertahankan benda-benda berharga itu. Karena itu, sejenak keduanya saling berpandangan.

Sementara itu, suasana di ruang dalam menjadi semakin panas ketika terdengar seseorang berkata, “Sudahlah Ki Gumrah, kau jangan berbuat bodoh. Kau tidak akan dirugikan seandainya benda-benda itu kami bawa. Kau pun tidak akan mendapat keuntungan apa-apa dengan mempertahankan benda-benda itu”.

“Ada Ki Sanak. Jika aku mempertahankan benda-benda itu, aku mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu tidak berujud. Aku adalah orang tua yang berpegang pada janji” jawab orang tua itu.

“Sebenarnya aku tidak ingin berbuat kasar. Apalagi terhadap orang tua. Karena itu, ketika aku datang yang pertama, aku dengan senang hati menuruti permintaanmu, mengambil patung kecil itu. Tetapi sudah aku katakan, patung itu sudah hilang. Kau tidak dapat memaksaku menemukan patung itu kembali. Demikian pula pemilik benda-benda berharga itu tidak akan mendapatkan patungnya lagi.” berkata orang yang datang itu.

“Jika demikian, biarlah pemiliknya datang sendiri untuk mengambilnya. Meskipun aku sudah pikun, tetapi aku tentu masih dapat mengenalnya dengan baik.” berkata Ki Gumrah selanjutnya.

Tetapi orang-orang yang datang itu nampaknya sudah tidak sabar lagi. Yang terdengar adalah suara salah seorang dari mereka menjadi semakin keras, “Cukup. Aku sudah cukup menahan diri. Sekarang aku akan mengambil benda-benda itu. Aku akan membawanya. Boleh atau tidak boleh.”

“Jangan, Ki Sanak. Jangan. Lalu dimana harga diriku, jika kata-kataku tidak dapat dipegang lagi. Jika aku sudah tidak memegang janji, aku akan menjadi semakin tidak berharga lagi.” minta orang tua itu.

“Aku tidak peduli lagi” geram orang itu.

Yang kemudian terjadi, dapat dibayangkan. Orang tua yang memegangi lengan tamunya itu telah dikibaskan. Yang terdengar suara orang yang terjatuh di amben bambu serta orang tua itu mencoba mencegahnya, “Jangan, jangan lakukan itu”.

Tetapi suaranya sama sekali tidak dihiraukan.

Manggada dan Laksana tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya kemudian telah mendorong pintu butulan. Sesaat kemudian, keduanya telah berada di ruang dalam itu pula.

“Jangan lakukan itu Ki Sanak” desis Manggada.

“Siapa kau?” bertanya seorang yang ternyata bertubuh kecil namun agak tinggi.

“Aku cucu Ki Gumrah” jawab Manggada.

“O” yang satu lagi mengangguk-angguk. Orangnya bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak keras dan kasar, “Jadi Ki Gumrah sudah mempunyai cucu sebesar ini. Yang seorang lagi apakah juga cucunya?”

“Ya” jawab Laksana singkat.

“Bagus. Nampaknya kalian dipanggil oleh kakekmu khusus hari ini untuk melindungi benda-benda berharga itu?” desis orang yang berwajah keras itu.

“Aku tidak sengaja datang mengunjungi kakekku hari ini. Ternyata kakek sedang menghadapi satu masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri” berkata Laksana.

“Baiklah” berkata orang yang bertubuh tinggi, “sekarang kami akan mengambil benda-benda berharga itu. Terserah kepada kalian berdua, cucu-cucu Ki Gumrah. Apakah kalian akan mencegah kami atau tidak.”

“Sudah tentu” berkata Manggada, “kakek yang sudah terlanjur berjanji harus ditepati. Aku tidak peduli apakah kau akan mengaku sudah berjanji pula membawa benda-benda itu atau kau akan merampoknya. Jika kau mempergunakan kekerasan untuk mengambil benda-benda itu, maka itu akan sama saja artinya dengan kalian telah merampok kakekku”.

“Sudahlah anak-anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi, “jangan terlalu banyak bicara sehingga membuat telingaku merah. Jika kau berniat untuk mempertahankan benda-benda itu. maka aku memang terpaksa mempergunakan kekerasan”.

“Cobalah” berkata Manggada, “kami akan mempertahankan dengan kekerasan pula”.

Wajah orang bertubuh tinggi itu berkerut. Namun kemudian katanya, “Aku akan memaksa kalian untuk minggir”

Tetapi Manggada dan Laksana masih tetap berdiri ditempatnya.

Sementara itu, orang bertubuh kasar itu pun berkata dengan nada geram, “Aku tidak telaten. Kita harus segera menyingkirkannya?”

Manggada dan Laksana pun segera bersiap menghadapinya kedua orang itu. Ruangan memang agak terlalu sempit. Tetapi kedua orang itu tidak boleh mengambil benda-benda yang memang bukan haknya.

Kedua orang itu benar-benar tidak menunggu lagi. Tetapi ketika keduanya melangkah maju, maka Manggada dan Laksana pun telah menyerangnya.

Ditempat yang tidak begitu luas itu pun kemudian telah terjadi perkelahian. Manggada menghadapi orang yang bertubuh tinggi tetapi kecil itu, sedangkan Laksana melawan orang-orang yang lain.

Namun agaknya kedua orang itu tidak ingin bertempur dalam ruang yang sempit itu. Karena itu, maka keduanya pun telah memancing lawan-lawan mereka untuk keluar dan turun ke halaman.

Manggada dan Laksana pun tidak berkeberatan pula. Mereka pun lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Dengan demikian mereka akan lebih leluasa untuk bergerak dan mengambil ancang-ancang.

Demikianlah keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Manggada dan Laksana yang muda itu cepat menyesuaikan diri dengan lawannya yang garang dan berkelahi deraan keras.

Manggada yang bertempur melawan orang bertubuh tinggi itu telah bertempur dengan cepat. Orang bertubuh tinggi itu ternyata sangat giat. Ia dapat berloncatan, berputar di udara dan bahkan seakan-akan terbang mengitari lawannya. Sementara Manggada yang telah menekuni olah kanuragan serta berlatih dengan keras berusaha untuk mengimbanginya. Peningkatan ilmunya di sepanjang perjalanannya, telah membuatnya menjadi semakin tangkas.

Karena itu, maka Manggada pun dengan cepat pula telah bertempur melawan orang yang bertubuh tinggi itu.

Beberapa saat mereka masih saling menjajagi kemampuan masing-masing. Namun kemudian orang bertubuh tinggi itu dengan cepat meningkatkan kemampuannya.

Manggada pun telah melakukan hal yang sama. Ketika lawannya mendesaknya, maka Manggada pun telah berusaha untuk bertahan. Bahkan dengan garangnya Manggada telah menyerang lawannya semakin cepat.

Tetapi lawan Manggada agaknya seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Bahkan kekuatan dan kemam-puannyapun telah menggetarkan pertahanan Manggada yang muda itu.

“Ternyata kau memiliki bekal yang cukup anak muda” berkata orang yang bertubuh tinggi itu, “sayang, kau belum mampu mengembangkan dasar ilmumu, sehingga gerakmu masih sangat terbatas pada umur-umur gerak murni. Namun ternyata kau pun telah pernah mendapatkan peningkatan landasan ilmu dan kemampuanmu oleh seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau memiliki tataran ilmu yang pantas kau banggakan, apalagi pada umurmu yang masih sangat muda itu”.

Manggada tidak menjawab. Namun iapun telah mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawannya benar-benar seorang yang memiliki pengalaman yang dapat menompang kemampuannya. Bukan saja kecepatannya bergerak serta unsur-unsur geraknya yang rumit. Namun orang bertubuh tinggi itu seakan-akan dapat membaca, apa yang akan dilakukan oleh Manggada. sehingga karena itu, maka Manggada seakan-akan merasa telah dipotong serangan-serangannya oleh lawannya.

Dengan demikian, maka Manggada mulai merasakan kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya yang ternyata cukup tinggi.

Dalam pada itu, Laksana pun telah mengalami kesulitan pula. Bahkan rasa-rasanya orang yang bertubuh sedang namun berwajah keras itu telah mendesaknya tanpa memberinya banyak kesempatan. Meskipun Laksana pun kemudian telah mengerahkan kemampuannya, tetapi lawannya itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Serangan-serangannya datang beruntun dengan landasan kekuatan yang sangat besar, kecepatan bergerak yang tinggi dan bahkan juga unsur-unsur yang sulit diperhitungkan.

Sementara itu orang tua yang disebut Ki Gumrah itu berdiri termangu-mangu di depan pintu rumahnya, ia menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut semakin dalam.

Manggada dan Laksana ternyata dalam waktu singkat telah terdesak oleh kemampuan lawannya yang tinggi. Kedua orang yang datang untuk mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang memang berbekal ilmu sehingga mereka benar-benar akan dapat melakukan tugas mereka dengan baik.

Kedua anak muda yang merasa memiliki bekal dan juga pengalaman yang cukup itu, menjadi tidak banyak berarti dihadapan kedua orang yang mendapat tugas untuk mengambil benda-benda berharga itu.

Namun Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda yang keras hati. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan itu. Karena itu, maka mereka masih tetap bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi beberapa saat kemudian, maka serangan lawan Laksana yang berwajah keras itu datang beruntun seperti banjir bandang yang sulit untuk dibendung. Sebuah serangan yang keras telah menghantam langsung mengenai lambung Laksana sehingga anak muda itu terdorong beberapa langkah surut. Sebelum Laksana mampu memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnya pun telah datang. Orang itu meloncat sambil menjulurkan tangannya tepat mengenai dadanya.

Laksana bukan saja sekedar terdorong surut, tetapi ia pun telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Namun dengan cepat pula Laksana berusaha untuk bangkit. Ketika ia sempat melihat lawannya meloncat menjulurkan kakinya lurus mengarah ke keningnya, maka Laksana telah menjatuhkan dirinya sekali lagi. Tetapi ia sempat menyapu kaki lawannya, sehingga lawannya itupun telah kehilangan keseimbangannya pula.

Namun ketika Laksana bangkit berdiri, ternyata lawannya itu pun telah berdiri tegak pula. Sedangkan yang terjadi kemudian adalah serangan-serangan yang datang beruntun. Susul-menyusul tidak henti-hentinya sehingga Laksana harus berloncatan surut beberapa langkah.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Manggada pun telah terdesak pula. Ketika tangan lawannya terayun mendatar, maka serangan itu masih membentur pertahanan Manggada sehingga tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sesaat kemudian, justru kaki lawannya yang bertubuh tinggi itulah yang menyerang kearah dadanya, justru lawannya sedang membelakanginya Manggada masih sempat mengelakkan serangan itu.

Namun sekejap kemudian lawannya itu bagaikan melenting sambil berputar. Satu kakinya terayun deras tepat mengenai kening anak muda itu.

Manggada bagaikan terlempar jatuh. Dengan cepat ia berguling menjauhi lawannya. Ketika lawannya memburunya, Manggada sudah sempat melenting berdiri. Meskipun demikian, maka tangan lawannya yang terjulur lurus telah menggapai dadanya.

Manggada harus meloncat beberapa langkah surut sambil berusaha mengatasi rasa sakit. Sementara dadanya bagaikan menjadi sesak. Namun ia sempat mempersiapkan diri ketika lawannya yang bertubuh tinggi itu siap untuk menyerangnya lagi.

Tetapi bagaimanapun juga, maka kemudian yang terjadi sudah dapat diduga. Manggada dan Laksana tidak mendapat banyak kesempatan lagi.

Karena itu, maka kedua anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Dengan keadaan yang terdesak, maka keduanya sampai ke puncak perlawanannya. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, baik Manggada maupun Laksana telah menarik pedangnya.

Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu pun termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh tinggi itupun kemudian berkata, “Anak-anak muda. Senjata-senjata kalian itu akan sangat berbahaya bagi kalian sendiri. Jika kami pun kemudian menarik senjata kami, maka kalian berdua akan dapat terbunuh disini”.

“Aku tidak peduli” geram Manggada, “tetapi kalian tidak boleh mengambil apapun yang bukan hak kalian”.

“Anak-anak muda, sebaiknya kalian tidak mencampuri persoalan orang lain” berkata orang bertubuh tinggi itu.

“Persoalan ini adalah persoalan kakekku.” Jawab Manggada.

“Baiklah” berkata orang itu, “jika demikian apaboleh buat. Kalian berdua memang harus disingkirkan lebih dahulu”.

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun kedua orang itu pun kemudian telah menarik senjata mereka masing-masing. Orang yang bertubuh tinggi itu bersenjata sepasang tongkat baja yang tidak begitu panjang sedangkan orang yang berwajah kasar itu telah mengurai sehelai rantai yang tidak terlalu panjang.

Manggada dan Laksana memang menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang itu begitu yakin akan jenis senjata mereka.

Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi lagi di halaman rumah orang tua itu. Manggada dan Laksana telah mempermainkan pedangnya. Keduanya memiliki ilmu pedang yang tinggi.

Namun melawan senjata-senjata yang aneh itu, keduanya masih harus menyesuaikan diri. Meskipun mereka pernah berlatih melawan beberapa jenis senjata, tetapi ketika mereka benar-benar berhadapan dengan senjata yang tidak terlalu sering dipergunakan itu, masih juga harus sangat berhati-hati .

Tetapi Manggada dan Laksana pun telah terdesak pula. Ketika tongkat baja orang bertubuh tinggi itu membentur pedang Manggada maka rasa-rasanya pedangnya itu hampir meluncur dari tangannya. Namun Manggada cukup trampil sehingga ia masih mampu mempertahankan pedangnya itu.

Sementara itu Laksana telah berloncatan surut. Ujung rantai lawannya itu seperti seekor lalat yang memburunya dan setiap kali hinggap dikulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu masih belum melukainya, tetapi perasaan pedih telah menyengatnya beberapa kali.

Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kedua orang itu. Ternyata keduanya bukan sekedar orang-orang yang berniat buruk, tetapi keduanya benar-benar berbekal ilmu melampaui orang-orang yang pernah dijumpai sebelumnya.

Karena itu, yang dapat dilakukan oleh kedua orang anak muda itu hanya bertahan. Namun beberapa kali mereka harus berloncatan mengambil jarak.

Tetapi kedua orang itu terus mendesaknya. Manggada yang mengerahkan segenap kemampuannya, ternyata tidak dapat mengimbangi lawannya. Tongkat baja itu mulai mengenai tubuhnya. Ketika ia mengayunkan pedangnya mendatar, tetapi tidak menggapai sasaran, maka lawannya telah mempergunakan saat itu untuk menyerang kembali.

Manggada memang meloncat surut, tetapi tongkat itu masih juga mengenai lengannya.

Manggada mengeluh tertahan. Tulangnya seakan-akan menjadi retak. Sehingga karena itu. maka ia pun telah berloncat beberapa kali menjauhi lawannya. Namun lawannya ternyata memburunya sambil menggeram.

“Salahmu sendiri” berkata orang itu, “senjatamu telah membuatmu semakin sulit. Jangan menyalahkan aku jika kunjunganmu ke kakekmu kali ini adalah kunjunganmu yang terakhir.

Tetapi Manggada tidak mudah menyerah. Apapun yang terjadi, harus dihadapinya. Ia sudah terlanjur mulai dengan satu pertempuran, karena ia tidak dapat melihat laku sewenang-wenang.

Tetapi ternyata lawan anak-anak muda itu adalah orang yang berilmu tinggi, karena itu, Manggada dan juga Laksana telah mengalami kesulitan.

Akhirnya kedua anak muda itu telah terdesak sampai ke dinding halaman. Keduanya tidak mungkin lagi untuk bergeser mundur. Yang dapat mereka lakukan adalah bertahan sampai kemungkinan terakhir.

Ternyata kedua anak muda itu telah beberapa kali dikenai senjata-senjata lawannya. Selain tulang-tulang mereka serasa retak, kulit mereka pun mulai terluka. Darah pun mulai menitik dari luka-luka itu.

Dalam keadaan yang paling gawat itu, tiba-tiba saja mereka mendengar tepuk tangan. Bahkan terasa sangat mengejutkan, bahwa dalam keadaan yang demikian ada seseorang yang bertepuk tangan sambil berkata, “Bagus. Bagus sekali. Kalian utusan orang linuwih telah mampu mengalahkan anak-anak yang masih pantas bermain bengkat”.

Orang-orang yang mendesak Manggada dan laksana itu terkejut pula. Mereka pun berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Gumrah masih bertepuk tangan.

“Apakah kau sudah menjadi gila?” bertanya orang yang bersenjata sepasang tongkat baja pendek itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya, “Tentu tidak. Aku masih cukup sadar melihat apa yang telah terjadi. Kenapa kau menyangka aku sudah gila”.

“Apa yang membuatmu bertepuk tangan? Keputusasaan melihat cucu-cucumu, atau justru karena kau sudah kehilangan akal?” bertanya lawan Laksana.

“Tidak Ki Sanak” jawab orang tua itu, “aku kagum akan anak-anak itu. Dalam usianya yang masih sangat muda, mereka telah mampu menunjukkan ilmu yang mapan meskipun masih harus dikembangkan. Tetapi mereka sudah menguasai unsur-unsur gerak yang rumit, serta memiliki kemungkinan yang jauh lebih baik dari ilmu kalian”.

Wajah orang itu berkerut. Bahkan Manggada dan Laksana pun menjadi heran. Ternyata orang itu mampu menilai kemampuan mereka dan kemampuan lawan-lawan mereka.

Tetapi dengan geram lawan Manggada itu berkata, “Tetapi kebanggaanmu atas cucu-cucumu tidak akan lama Ki Gumrah. Kami akan menyelesaikannya. Dengan bekal yang tipis itu, mereka menjadi terlalu sombong. Kelak mereka akan menjadi orang yang sangat berbahaya apabila mereka tumbuh semakin matang dalam olah kanuragan”.

“Jangan Ki Sanak. Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mekar. Meningkatkan ilmu dan mengamalkan ilmu mereka bagi kebaikan” jawab Ki Gumrah.

“Itu tidak akan terjadi. Mereka terlalu sombong dan tentu akan menjadi sewenang-wenang” geram lawan Manggada.

“Sudahlah” berkata Ki Gumrah, “aku minta maaf atas tingkah laku cucu-cucuku itu”.

“Jadi kau berikan songsong dan tombak-tombak itu?” bertanya lawan Manggada.

Orang tua itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Sayang Ki Sanak, aku tidak dapat memberikan sebelum Ki Sanak membawa pertanda pemilikan seperti yang aku katakan”.

“Jadi, kami bunuh cucu-cucumu?” desak lawan Laksana.

“Juga tidak.” jawab Ki Gumrah.

“Aku tidak peduli” geram lawan Manggada, “aku justru akan melakukan kedua-duanya. Membunuh cucu-cucumu, kemudian membawa songsong dan tombak-tombak itu”.

“Sebenarnya sudah tidak pantas bagiku untuk bermain-main dengan kalian. Tetapi apaboleh buat. Aku tidak mau kedua-duanya. Aku tidak mau cucu-cucuku mati dan juga tidak mau songsong dan tombak-tombak itu kau bawa” jawab Ki Gumrah.

“Jadi kau akan berbuat apa?” bertanya lawan Manggada itu, “kau akan melawan kami berdua?”

“Sudah aku katakan, sebenarnya aku sudah tidak pantas untuk melayani kalian, tetapi aku tidak dapat berdiam diri menghadapi sikap kalian” jawab orang tua itu.

Kedua orang yang akan mengambil songsong dan tombak-tombak itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata-kata, “Baiklah. Ternyata kami harus mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan demikian kami dapat menduga, bahwa sebenarnya kau memiliki bekal kemampuan untuk mencoba bertahan. Siapa kau sebenarnya?”

“Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh. Kau tahu, namaku Ki Gumrah. Itu saja. Tetapi karena aku sudah berjanji, maka aku tidak dapat menyerahkan benda-benda itu kepada seseorang yang tidak berhak. Juga tidak kepada kalian.” berkata orang tua itu.

“Jika demikian, maka aku tidak merubah rencanaku. Mengambil benda-benda itu dan membunuh orang-orang yang merintangi niat itu” geram lawan Manggada yang kemudian berkata kepada kawannya, “Selesaikan kedua anak itu. Aku akan menyelesaikan orang tua itu. Namun agaknya ia merasa mampu melawanku. Selama itu, ternyata ia hanya berpura-pura saja ketakutan dan seakan-akan tidak berdaya. Justru orang-orang seperti itu adalah orang yang sangat berbahaya.”

Kawannya mengangguk. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Ia pun segera bersiap dan mulai menyerang Manggada dan Laksana yang sudah terluka dan kehilangan sebagian dari kekuatannya, setelah memeras tenaganya habis-habisan. Sementara darah semakin banyak mengalir dari luka-luka mereka. Sedangkan tulang-tulang mereka masih saja terasa bagaikan retak.

Sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berhadapan dengan orang tua itu. Ternyata orang tua itu telah menyingsingkan kain panjangnya dan berkata, “Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih tetap merasa bertanggungjawab atas janji yang sudah aku ucapkan”.

Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang. Sepasang tongkatnya terayun-ayun mengerikan. Hampir saja tongkat itu menyambar kepala Ki Gumrah yang untung saja sempat mengelak.

Sementara itu, Manggada dan Laksana benar-benar sudah terkurung. Meskipun lawan mereka tinggal seorang, tetapi mereka seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Namun kedua anak muda itu masih berusaha untuk melindungi dirinya.

Yang sama sekali tidak terduga adalah lawan Ki Gumrah. Mula-mula ia tampak demikian garangnya. Namun dalam waktu singkat, orang itu sudah terdesak dan seakan-akan tidak mempunyai kesempatan untuk melawan. Bahkan kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk membantunya.

Orang yang bersenjata rantai itu pun telah melepaskan Manggada dan Laksana yang benar-benar dalam kesulitan. Namun orang itu masih menggeram, “Nyawamu masih akan tinggal beberapa saat di dalam tubuhmu. Tetapi setelah orang tua itu kami selesaikan, kalian pun akan mati. Kalian tidak akan dapat melarikan diri dalam keadaan kalian seperti itu”.

Manggada dan Laksana memang tidak dapat menjawab. Mereka benar-benar dalam keadaan yang sulit. Mereka menyadari, jika mereka harus bertempur beberapa saat lagi, maka tubuh mereka akan menjadi semakin sakit. Darah akan semakin banyak mengalir dan tenaga mereka pun akan terkuras habis sama sekali.

Namun justru saat-saat kematian sudah membayang, lawannya telah meninggalkannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh lawannya itu, bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu melarikan diri.

Satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah mengganggu pemusatan perhatian kedua orang yang bertempur bersama-sama melawan orang tua yang semula disangkanya tidak berdaya sama sekali.

Namun, dengan tekad apapun yang terjadi atas mereka, karena hanya dengan cara itulah mereka dapat membantu orang tua itu.

Tetapi sebelum keduanya berbuat sesuatu, Manggada dan Laksana yang terluka itu melihat bagaimana orang tua itu mendesak kedua lawannya. Bahkan sambil tertawa orang tua itu berkata, “Nah, bukankah kalian pun harus mengalami sebagaimana dialami oleh kedua cucuku”.

Dengan geram seorang di antara lawannya bertanya, “Setan kau. Siapakah kau sebenarnya?”

Orang tua itu masih saja tertawa. Katanya, “Kalian sudah mengenal namaku Itu sudah cukup”.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu benar-benar tidak mampu mengatasi ketangkasan dan kecepatan gerak lawannya. Meski pun kedua orang itu bersenjata, namun orang tua itu sekali-sekali mampu juga menembus pertahanan mereka.

Namun tiba-tiba seorang di antara kedua orang itu berteriak, “Bunuh saja cucu-cucunya”.

Orang tua itu terkejut. Katanya, “Jangan licik.” Orang bersenjata rantai itulah yang kemudian meloncat untuk menyelesaikan Manggada dan Laksana yang memang sudah tidak mampu berbuat banyak. Meski pun demikian, aba-aba itu telah membangunkan mereka untuk mengangkat senjata mereka dengan sisa tenaga yang ada padanya.

Tetapi Manggada dan Laksana memang sudah menjadi semakin lemah. Perasaan sakit, pedih dan nyeri, serta darah yang masih saja mengalir, membuat kedua anak muda itu tidak akan mampu lagi bertahan. Sementara itu, rantai baja telah berdesing semakin keras.

Manggada dan Laksana dengan sisa tenaga terakhirnya justru mengambil jarak, sehingga yang seorang akan dapat berbuat sesuatu betapapun lemahnya untuk membantu yang lain.

Namun dalam keadaan yang paling gawat bagi Manggada dan laksana, tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat orang yang bersenjata rantai itu terhenyak sejenak. Kemudian terhuyung-huyung, sebelum orang itu sempat menyerang Manggada dan Laksana. Akhirnya orang itu terjatuh menelungkup. Sementara itu, sebuah gelang-gelang besi baja jatuh di sisinya.

“Aku tidak mempunyai cara lain” terdengar suara Ki Gumrah yang meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Lawannya terkejut melihat keadaan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, “Kau licik”.

“Tidak. Bukan aku yang licik. Tetapi kawanmu dan justru kau” sahut Ki Gumrah.

“Kenapa kau sebut kawanku dan bahkan aku licik? Bukankah kita sudah terlihat dalam pertempuran? Apakah membunuh kedua anak tikus itu dapat disebut licik?” geram orang itu.

“Jika demikian, apakah membunuh kawanmu juga dapat disebut licik?” jawab K: Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Kau akan menyesal bahwa kau telah membunuh kawanku. Dengar, aku akan menyampaikan persoalan ini kepada orang yang memerintahkan aku mengambil benda-benda pusaka itu”.

“Bagaimana jika aku juga membunuhmu?” bertanya Ki Gumrah.

“Persetan” jawab orang itu. Namun ia memang menjadi cemas, bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan oleh Ki Gumrah. Sehingga karena itu, ia pun telah melangkah surut menuju ke halaman rumah orang tua itu. Orang itu tidak mau memutar tubuhnya membelakangi Ki Gumrah yang ternyata memiliki senjata khusus, yang dapat dilontarkan pada jarak tertentu.

Ki Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun ia memang tidak ingin membunuh orang itu. Bahkan ia sempat berkata, “Apakah kau tidak ingin melihat kawanmu? Apakah kau yakin ia sudah mati?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mati atau tidak mati, aku tidak dapat membawanya. Kau pun dapat berbuat licik saat aku melihat kawanku. Yang penting, salah seorang diantara kami dapat kembali dan memberitkan laporan tentang benda-benda berharga itu”.

Ki Gumrah tersenyum. Katanya, “Kau kira aku tidak dapat membunuhmu?”

“Lakukan jika kau mulai menjadi ketakutan kepada orang yang memerintahkan aku kemari. Tetapi bahwa kami berdua tidak kembali, berarti bencana yang semakin besar bagimu” jawab orang itu.

Ki Gumrah tertawa. Katanya, “Satu cara yang baik untuk menyelamatkan diri. Kau singgung harga diriku agar aku tidak membunuhmu. Tetapi jika aku tidak membunuhmu, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata itu. Aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku kasihan kepadamu. Kau sudah menjadi pucat pasi. Meskipun kau memaksa diri untuk tampak tetap tegar dan tanpa mengenal ancaman maut. Namun sebenarnya jantungmu tentu sudah tidak berdarah lagi”.

“Setan tua” geram orang itu. Namun ia masih juga melangkah surut ke pintu gerbang.

Demikian orang itu sampai kepintu gerbang, Ki Gumrah telah menimbang sebuah lingkaran besi baja. Karena itu, orang itu dengan cepat meloncat ke belakang pintu gerbang halaman rumah Ki Gumrah.

Ki Gumrah tersenyum. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia menyimpan kembali gelang-gelang baja itu dibawah ikat pinggangnya. Kemudian Ki Gumrah pun telah mendekati Manggada dan Laksana.

“Marilah. Aku obati luka-lukamu, berkata Ki Gumrah. Manggada dan Laksana telah menyarungkan senjata mereka. Dengan dibantu oleh orang tua itu, keduanya berjalan perlahan-lahan ke serambi rumah tua itu, dan kemudian duduk disebuah amben panjang.

“Duduklah sebentar. Jangan banyak bergerak” berkata orang tua itu.

Dengan tergesa-gesa pula Ki Gumrah mendekati tubuh yang terbaring itu. Nampaknya gelang-gelang besi baja Ki Gumrah telah mengenai tengkuknya.

Tetapi orang itu tidak mati. Orang itu hanya pingsan saja.

“Biarlah ia tidur sebentar” berkata Ki Gumrah yang telah menelentangkan orang itu. Tetapi kemudian ia telah menyentuh beberapa bagian simpul syarafnya dan berkata, “Ia tidak akan dapat lari”.

Ki Gumrah kembali kepada Manggada dan Laksana. Diperintahkannya kedua anak muda itu berbaring. Katanya, “Lepas baju kalian. Aku akan melihat luka-luka di tubuh kalian.”

Manggada dan Laksana pun telah membuka baju mereka sambil menyeringai menahan pedih. Kemudian keduanya berbaring berjajar diamben bambu di serambi.

“Disini udara lebih baik daripada didalam rumah yang pengab itu” berkata Ki Gumrah.

Sejenak kemudian orang tua itu telah melihat luka-luka di tubuh Manggada dan Laksana. Kebanyakan hanya luka-luka memar. Tetapi ada pula kulitnya yang terkoyak, sehingga darah mengalir dari luka-luka itu.

Namun kemudian, dengan hati-hati Ki Gumrah telah menaburkan semacam serbuk di luka-luka kedua anak muda itu. Meskipun mula-mula luka itu bagaikan disentuh api, namun kemudian perlahan-lahan penjadi semakin sejuk. Darah yang mengalir dari luka-luka itupun telah menjadi pampat pula.

“Luka-luka kalian, baik yang terbuka maupun yang tampak memar pada kulit daging kalian, tidak berbahaya” berkata orang tua itu, “tetapi tentu terasa pedih. Apalagi jika keringat kalian mengenainya”.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun obat Ki Gumrah telah dapat jauh mengurangi rasa sakit, meskipun mula-mula terasa panas. Bahkan sejenak kemudian Manggada telah mulai bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Laksana pun telah bangkit pula dan duduk di sebelah Manggada.

“Daya tahan kalian luar biasa” berkata Ki Gumrah, “latihan-latihan yang berat telah membuat kalian mengatasi perasaan sakit yang mencekam tubuh kalian, serta kemampuan kalian mempertahankan kekuatan dan tenaga didalam diri kalian, sehingga kalian masih mampu bangkit dan duduk sekarang ini, bahkan seolah-olah tidak terjadi sesuatu atas diri kalian. Sudah tentu bahwa sebenarnyalah kekuatan kalian belum pulih kembali, karena untuk itu diperlukan waktu. Namun sekilas, wajah kalian, tatapan mata kalian dan sikap duduk kalian, benar-benar menunjukkan ketahanan tubuh yang luar biasa”.

“Obat Ki Gumrah tadi agaknya yang telah menumbuhkan kekuatan di dalam tubuh kami, meskipun belum pulih kembali.” jawab Manggada.

“Tidak. Obatku hanya sekadar mengobati luka-luka ditubuh kalian dan memampatkan darah” jawab Ki Gumrah. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku juga ingin memberikan obat yang nanti dapat kalian minum, sehingga kekuatan kalian akan cepat pulih kembali”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada menjawab, “Terima kasih Kiai”.

“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih.” Jawab Ki Gumrah.

“Tidak.” jawab Manggada, “kami ternyata benar-benar terlalu sombong dan dungu. Kami tidak tahu siapa sebenarnya Kiai. sehingga kami merasa mempunyai kemampuan untuk menolong Kiai yang kemudian justru merepotkan Kiai”.

Ki Gumrah tertawa. Katanya, “Anak-anak muda. Meskipun kalian tidak berhasil menolong aku, seandainya aku tidak mampu mengatasi mereka berdua, tetapi niat kalian urtuk menolong itu sudah menunjukkan sesuatu yang menarik pada kalian. Kalian tidak mengenal aku sebelumnya. Namun dalam keadaan yang gawat, kalian tiba-tiba saja telah mengaku sebagai cucu-cucuku. Bukankah sikap itu harus dihargai? Selebihnya, aku memang ingin melihat tingkat kemampuan kalian. Ternyata bahwa kalian selain telah berguru dan menyadap ilmu juga pernah mendapatkan petunjuk-petunjuk khusus untuk menjalani laku, sehingga kalian memiliki kelebihan dan orang lain. Dalam umur kalian yang masih muda itu, kalian telah memiliki sesuatu yang berharga. Namun masih juga tergantung penggunaannya, apakah yang kalian miliki itu berarti bagi orang banyak atau justru mengganggu orang banyak”.

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika mereka menarik nafas dalam-dalam, maka tulang-tulang mereka memang tidak lagi terasa terlalu sakit. Menurut Ki Gumrah, itu bukan karena obat yang ditaburkan pada luka-lukanya, tetapi justru karena daya tahan tubuh mereka sendiri.

Sementara itu. Ki Gumrah itu kemudian berkata, “Duduklah. Beristirahatlah agar darahmu tidak keluar lagi dari luka-lukamu yang mulai pampat. Aku akan melihat orang itu”.

Ketika Ki Gumrah mendekati orang yang terbaring di halaman itu, maka ia melihat bahwa orang itu telah sadar dari pingsannya. Namun orang itu masih saja berbaring diam karena sentuhan jari-jari Ki Gumrah pada bagian tertentu pada jaringan dan simpul-simpul syarafnya.

Demikian Ki Gumrah membuka bagian-bagian yang ditutupnya itu, maka orang itu pun telah menarik nafas dalam-dalam.

“Bangkitlah dan duduklah” desis Ki Gumrah. Orang itu menggeliat. Namun ia merasa bahwa ia masih mampu untuk bangkit dan duduk ditanah meskipun tengkuknya terasa sakit sekali. Agaknya tengkuknya itulah yang telah dikenai senjata lawannya dan membuatnya menjadi pingsan.

“Kawanmu telah melarikan diri” desis Ki Gumrah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Ki Gumrah. Kemudian orang itu sempat memandang Manggada dan Laksana yang duduk di serambi.

“Kenapa kau tidak membunuh aku saja?” bertanya orang itu.

Ki Gumrah tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku juga tidak membunuh kawanmu. Aku biarkan kawanmu melarikan diri”.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Kenapa kau tidak membunuh kami? Bukankah kau tahu bahwa kami adalah orang yang sangat berbahaya bagimu. Bahkan seandainya kami mampu, kami tentu sudah membunuhmu dan membawa benda-benda berharga itu keluar dari rumahmu ini”.

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya untuk apa kami membunuh? Aku dan cucu-cucuku bukan pembunuh. Kami hanya sekadar mencegah usaa kalian membawa benda-benda yang tidak berhak kalian bawa itu. Hanya itu.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia benar-benar tidak mengerti, kenapa orang tua itu tidak membunuhnya.

Bahkan orang tua itu kemudian membantunya untuk berdiri sambil berkata, “Marilah. Duduklah bersama cucu-cucuku itu”.

Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih dibantu oleh Ki Gumrah ke serambi. Kemudian Ki Gumrah telah mempersilahkan orang itu untuk duduk diamben bambu, disebelah Manggada dan Laksana.

Namun orang itu ternyata masih merasa bahwa masih ada anggauta badannya yang tidak dapat bergerak sewajarnya.

“Agaknya masih ada simpul syarafnya yang tertutup” berkata orang itu didalam hatinya. Namun orang itu tidak bertanya kepada Ki Gumrah. Karena ia tidak yakin, apakah keadaanya itu terjadi karena ia memang mengalami luka-luka didalam tubuhnya.

“Biarlah kau duduk bersama cucu-cucuku. Aku akan menengok gula kelapaku lebih dahulu, berkata orang tua itu.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Ki Gumrah begitu saja meninggalkan mereka bersama orang yang semula berniat buruk itu. Namun Manggada dan Laksana tidak bertanya pula kepadanya. Ia yakin, bahwa orang tua itu tidak berbuat begitu saja tanpa memikirkan akibatnya.

Untuk beberapa saat mereka yang duduk di serambi itu saling berdiam diri. Memang ada niat orang yang telah sadar dari pingsannya itu untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali niatnya diurungkan karena ada sesuatu yang belum wajar pada dirinya, yang mungkin akan dapat mengganggunya se panjang umurnya.

Tetapi karena orang tua itu cukup lama tidak muncul dari dalam rumahnya, maka orang itu pun kemudian bertanya, “Anak-anak muda. Apakah kalian juga berguru kepada kakekmu, sehingga dalam umurmu yang masih muda itu kalian memiliki bekal ilmu yang cukup baik?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada menjawab singkat, “Ya”.

Tetapi orang itu masih bertanya, “Menilik penglihatanku, unsur-unsur gerak yang terdapat dalam ilmumu berbeda dengan unsur-unsur yang tampak pada kakekmu. Kenapa?”

Sekali lagi Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi Manggada pun kemudian menjawab, “Kami terlalu dungu untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntunan ilmu kakek”.

“Apakah kalian telah mengembangkannya sendiri?” bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Tetapi kakek yang memiliki ilmu yang tinggi itulah yang mampu berbuat apa saja dengan ilmunya. Ia mampu merubah sifat dan watak ilmunya dalam sekejap, sehingga seolah-olah ada dua atau tiga jalur kemampuan ilmu pada kakek” jawab Manggada.

Orang itu mengangguk-angguk kecil. Namun katanya, “Ternyata orang tua itu berilmu sangat tinggi. Aku tidak mengira. Bahkan aku tetap tidak mengerti kenapa kakekmu tidak membunuh aku”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba Laksana bertanya, “Siapa namamu?””

Orang itulah yang kemudian termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Namaku Kundala. Lengkapnya Kundala Geni”.

Laksana mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya lagi, “Apakah namamu memang Kundala Geni atau kau tambahi sendiri agar namamu menjadi lebih berwibawa”.

Manggada menggamit Laksana. Tetapi pertanyaan itu sudah terloncat.

Sambil menarik nafas panjang orang itu menjawab, “Memang aku bernama Kundala Geni mulai lahir. Waktu itu rumahku terbakar, sehingga ibuku yang baru saja melahirkan aku, telah terkepung api. Untunglah, ayahku sempat menyelamatkan aku”.

“O” Laksana mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Namun ternyata peristiwa itu telah ikut menentukan garis hidupku”.

Laksana justru menjadi tertarik lagi untuk bertanya. Namun sekali lagi Manggada menggamitnya, sehingga Laksana pun terdiam karenanya.

Untuk beberapa saat orang-orang yang duduk diserambi itu saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Gumrah telah muncul dari balik pintu sambil membawa mangkuk berisi ketela rebus legen yang masih panas.

Sebelum Manggada dan Laksana bertanya, Ki Gumrah berkata, “Ketela ini sudah ada di kuali dengan sisa adonan gula yang belum sempat aku tuang kedalam tempurung. Namun apinya tinggal kecil sekali, sehingga tidak dapat membuat air yang kau tuangkan itu mendidih. Baru kemudian, aku nyalakan iagi sehingga ketela pohon ini teiah masak. Karena itu, aku agak terlalu lama meninggalkan kalian”.

Ki Gumrah pun kemudian ikut duduk pula di serambi, sehingga mereka berempat sempat makan ketela pohon yang direbus dengan legen sehingga menjadi manis sekali.

Orang yang menyebut namanya Kundala Geni itu menjadi semakin heran. Ki Gumah sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang kedatangannya berdua dengan kawannya yang melarikan diri. Ki Gumrah tampaknya menganggap Kundala itu sebagai tamunya saja. Bahkan kemudian orang tua itu berkata, “Duduklah. Wedang sereku tentu sudah jadi pula”.

Sejenak kemudian Ki Gumrah itupun telah masuk lagi untuk mengambil wedang serenya.

Ternyata Kundala Geni tidak dapat menahan keheranannya itu didalam dadanya. Hampir diluar sadarnya orang itu berkata, “Orang tua yang aneh. Kenapa ia memperlakukan aku seperti ini? Aku justru menjadi bingung atas sikapnya. Seharusnya ia membunuhku. Apalagi kawanku telah melarikan diri”.

“Kakek sengaja tidak membunuhmu dan tidak pula membunuh kawanmu. Jika kakek mau, kawanmu tentu sudah menjadi mayat disini”.berkata Laksana.

“Itulah yang tidak aku mengerti,” desis Kundala.

Namun Manggada pun menyahut, “Kakek bukan seorang pembunuh. Bahwa ia harus berkelahi, ia tentu akan menjadi amat sedih. Semalam-malaman nanti kakek tentu akan merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Kenapa ia masih harus berkelahi dalam usianya setua itu”.

Kundala mengangguk-angguk. Sementara Manggada berkata selanjutnya, “Apalagi jika karena kecelakaan misalnya, kakek membunuh salah seorang dari kalian. Maka kakek tentu akan sangat menyesali dirinya. Sepekan kakek akan tidak mau makan”.

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan maksudku untuk memusuhi kakekmu. Tetapi aku memang berada dibawah perintah seseorang, sehingga aku harus melaksanakannya”.

Kundala menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan mengatakannya. Bagaimanapun juga aku mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan nama itu”.

“Tetapi kau dapat dipaksa oleh kakek untuk menyebutnya” berkata Laksana.

Orang itu terdiam. Ia memang tidak menjawab apa-apa. Tetapi terasa betapa ia wajib bertahan untuk tidak berkhianat kepada orang yang telah memerintahkannya mengambil pusaka-pusaka itu.

Pembicaraan mereka terputus ketika Ki Gumrah telah keluar lagi membawa wedang sere dan beberapa mangkuk kecil. Manggada yang bangkit untuk membantu Ki Gumrah membawa minuman dan mangkuk-mangkuk kecil itu, masih menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun ketika ia mulai melangkah, maka perasaan sakit itu justru berkurang.

Manggadalah yang kemudian meletakkan minuman itu diamben, sementara Ki Gumrah masih masuk lagi untuk mengambil gula kelapa.

“Ini bukan gula yang aku buat hari ini” berkata Ki Gumrah, “tetapi gula yang aku buat kemarin. Aku belum sempat membawanya ke pasar”.

Demikianlah, keempat orang itu justru duduk-duduk di serambi sambil minum-minuman hangat dan makan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa.

Namun beberapa saat kemudian Kundala itu tidak dapat duduk dalam perlakuan yang tidak dimengerti itu. Karena itu maka ia pun bertanya, “Ki Gumrah. Lalu apa maksud Ki Gumrah dengan aku. Apakah Ki Gumrah memperlakukan aku seperti ini sekadar mempermainkan aku untuk kemudian dibunuh dengan cara Ki Gumrah sendiri, atau apa?”

“Jangan berprasangka buruk terhadap orang lain Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku bukan pembunuh” jawab Ki Gumrah, “tugasku hanya menjaga benda benda berharga itu. Jika benda-benda itu sudah aman dan dapat aku selamatkan, maka apakah perlu aku membunuh orang?”

“Tetapi orang-orang itu tentu orang-orang yang sangat berbahaya bagi Ki Gumrah. Aku dan kawanku dapat kembali lagi, bahkan bersama dengan sepuluh atau duapuluh orang” berkata Kundala.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku telah menyatakan kesedianku untuk menjaga benda-benda yang berharga itu. Apapun yang terjadi, aku harus mempertahankan-nya. Tetapi untuk itu aku tidak harus menjadi seorang pembunuh”.

“Apakah Kiai pada suatu saat akan membiarkan diri Kiai dibunuh?” bertanya Kundala.

“Setiap orang tentu akan berusaha mempertahankan hidupnya dalam keadaan yang wajar. Kecuali mereka yang telah kehilangan nalar dan sengaja membunuh dirinya sendiri.” desis Ki Gumrah.

Kundala termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Gumrah. Tampaknya Ki Gumrah belum tahu watak orang yang telah memerintahkan kami datang untuk mengambil benda-benda berharga itu. Orang itu sama sekali tidak berperasaan. Ia tidak akan mengerti meskipun Ki Gumrah tidak membunuh kami berdua. Yang ia tahu, niatnya harus dapat dilaksanakan dengan cara apapun juga. Bahkan dengan membunuh sekalipun”.

Ki Gumrah tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan pada suatu saat ia akan berubah”.

“Itu tidak mungkin” sahut Kundala, “ia tidak akan berubah sampai tanah akan menelannya”.

“Tentu kita tidak tahu apa yang akan terjadi” jawab Ki Gumrah.

Kundala tidak berbicara lagi. Namun kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam.

Sementara itu Ki Gumrah telah mempersilahkan mereka mengulangi lagi makan ketela rebus legen yang masih tersisa sambil minum minuman yang sudah menjadi semakin dingin.

“Silahkan. Aku akan melihat dapur sebentar.” Berkata orang tua itu sambil melangkah masuk kedalam rumahnya.

Kundala menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ketika ia kemudian berdesis, “Aku benar-benar tersiksa. Mungkin orang tua itu sengaja menyiksa aku dengan cara ini. Jika ia membunuhku, ia akan menganggap bahwa hukuman bagiku itu masih terlalu ringan”.

“Tidak” sahut Manggada, “kakek benar-benar bukan seorang pembunuh. Jika ia ingin menyiksa, maka ia tidak akan membiarkan kawanmu terlepas dari tangannya. Sebenarnya ia dapat menangkap kawanmu sebagaimana dilakukan atasmu. Jika kakek melempar kawanmu dengan gelang-gelang bajanya, maka ia tentu tidak akan sempat melarikan diri”.

“Aku benar-benar tidak mengerti” desis orang itu, “namun aku akan menjadi semakin tersiksa jika pada suatu saat orang tua itu terbunuh oleh kawan-kawanku”.

“Kau dan kawan-kawanmu tidak akan datang lagi” desis Laksana.

“Jika hal itu-dapat aku lakukan, aku akan merasa berbahagia sekali. Tetapi jika perintah itu datang, maka siapa yang menentang akan dibinasakan. Dan tentu saja aku tidak ingin mengalaminya, karena seperti yang dikatakan oleh Ki Gumrah tentu setiap orang berusaha mempertahankan hidupnya, kecuali jika terjadi sesuatu yang mengacaukan penalarannya.” jawab Kundala.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya mengerti perasaan orang yang menamakan dirinya Kundala itu. Namun keduanya pun agak sulit untuk mengerti sikap Ki Gumrah. Ia sama sekali tidak berusaha untuk mengenali siapa yang telah memerintahkan Kundala datang kepadanya untuk mengambil benda-benda berharga itu.

“Hanya belum” gumam mereka didalam hatinya. Namun Manggada dan Laksana memperhitungkan, bahwa Ki Gumrah pada suatu saat tentu bertanya tentang orang yang memerintahkan Kundala Geni datang kerumahnya.

Untuk beberapa lama Kundala masih berbicara dengan Manggada dan Laksana. Namun Kundala tidak juga menyebut-nyebut nama orang yang telah memberikan perintah kepadanya untuk datang kerumah itu.

Ternyata Ki Gumrah tidak segera keluar dari rumahnya. Ketiga orang yang berada di serambi itu menunggunya. Namun ternyata kemudian mereka mendengar suara orang tua sedang sibuk menghitung, Agaknya orang tua itu sedang menghitung gula kelapa yang ada di dapur. Agar tidak mudah lupa atau keliru, maka hitungan yang diucapkan beralun dalam nada-nada tembang yang menyentuh. Ternyata suara orang tua itu cukup bagus.

Meskipun hanya lamat-lamat, namun terdengar suara itu kadang-kadang melengking tinggi. Tetapi kemudian menukik sampai ke dasar jantung mereka yang mendengarkan, meskipun yang disebut tidak lebih dari angka-angka hitungan gula kelapanya.

Beberapa saat kemudian, suara tembang itu pun berhenti. Manggada, Laksana dan Kundala Geni pun tidak berbincang lagi. Mereka bertiga merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Kundala masih saja tersiksa oleh sikap orang tua itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa masih ada simpul syarafnya yang belum terbuka sepenuhnya.

Ketiganya berpaling ketika Ki Gumrah muncul dari pintu rumahnya sambil membawa sekeranjang gula kelapa yang diletakkannya ditlundak pintu rumahnya. Kemudian iapun telah mendekati ketiga orang yang duduk di serambi sambil berkata, “Nah, tolong, jaga rumahku sebentar. Aku akan menyerahkan gula kepala yang sudah aku simpan sejak kemarin, ditambah dengan gula yang akan aku buat hari ini”.

“Tetapi………….” Manggada memang menjadi bimbang.

Namun orang tua itu berkata, “Aku hanya sebentar. Gula ini akan aku bawa kerumah sebelah, yang memang berdagang gula kelapa. Jika sudah terkumpul sepedati, maka gula itu akan dibawa kepasar”.

Bahkan sebelum pergi orang tua itu mendekati Kundala sambil berkata, “Ada yang masih tertinggal. Berdirilah”.

Kundala mengerti yang dimaksud oleh orang tua itu. Simpul syarafnya yang masih tertutup agaknya akan dibuka. Karena itu maka ia pun telah bangkit berdiri dan melangkah mendekati.

Ki Gumrah telah memutar tubuh Kundala sehingga membelakanginya. Kemudian beberapa ketukan jari telah membuka simpul-simpul syarafnya yang masih tertutup.

Kundala menarik nafas panjang. Terasa bahwa anggauta badannya benar-benar telah terbebas dari ketukan orang tua itu. Ia sudah dapat berbuat apa saja. Bahkan rasa-rasanya kekuatannya telah hampir pulih kembali.

“Nah” berkata Ki Gumrah, “aku akan pergi sebentar. Silahkan menghabiskan ketela itu. Nanti kita akan membuat lagi. Masih banyak batang pohon ketela yang ada dikebun belakang. Nanti sore aku akan memanjat untuk mengambil legen lagi”.

Ketiganya tidak sempat menjawab. Ki Gumrah itu pun kemudian mengambil keranjang yang penuh gula yang terletak ditlundak pintu. Kemudian diangkatnya keranjang itu dan dibawanya diatas kepalanya.

Orang tua itu tidak berpaling lagi. Apalagi setelah kepalanya diletakkan keranjang gula itu.

Kundala masih tetap berdiri. Segala-galanya telah pulih kembali. Ketika ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya, tidak lagi terasa sesuatu yang menghambat.

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun keduanya sadar, bahwa tampaknya Kundala benar-benar telah memiliki kembali bukan saja tenaganya, tetapi juga kemampuannya. Sementara itu mereka pun sadar bahwa Kundala Geni adalah seorang yang berilmu tinggi. Jika saja kepalanya mulai diganggu lagi oleh kepentingannya datang di rumah itu. maka keduanya tidak boleh tinggal diam apapun yang akan terjadi.

Tetapi Kundala itu ternyata tidak menjadi garang. Bahkan dengan kepala tunduk ia mendekati menjadi diserambi itu dan duduk lagi. Terdengar ia menarik nafas panjang sambil memandang kekejauhan. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh, “Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh orang tua itu”.

Manggada dan Laksana tidak menyahut. Sementara itu Kundala masih berbicara seakan-akan kepada dirinya sendiri, “Apakah ia dengan sengaja mencobai aku. Dibiarkannya aku tinggal dirumah ini. Dibebaskannya aku dari ketukan jari-jarinya pada simpul-simpul syarafku, sehingga tenaga dan kemampuanku seakan-akan telah pulih kembali. Kemudian ditinggalkannya aku dengan kesempatan yang luas untuk mengambil barang-barang berharga itu”.

Manggada dan Laksana masih saja berdiam diri. Namun diluar sadarnya, keduanya memang sudah mempersiapkan diri. Mereka tahu bahwa keduanya tentu akan sulit bertahan melawan Kundala Geni jika orang itu benar-benar ingin mengambil pusaka-pusaka itu sebagaimana dilakukannya sebelumnya.

Tetapi ternyata Kundala tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu tampak sangat gelisah. Keringatnya mengembun di keningnya.

Yang dilakukan Kundala kemudian adalah justru meraih mangkuk minumannya. Diteguknya wedang serenya. Kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.

Namun kemudian Kundala duduk termenung memandangi bayang-bayang yang bermain di halaman rumah orang tua itu.

Ternyata Ki Gumrah tidak juga segera kembali. Ketiga orang yang duduk diamben itu saling berdiam diri. Pikiran yang bermacam-macam telah bermain di kepala Kundala. Sekati ia ingin lari saja. Lari dari himpitan perasaannya yang bagaikan mencekik. Namun kemudian timbul niatnya untuk menyelesaikan tugasnya. Mengambil benda-benda pusaka itu. Bahkan kalau perlu menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalanginya. Termasuk kedua anak muda itu.

Tanpa disengaja, Kundala telah berpaling memandangi Manggada dan Laksana yang ternyata juga sedang merenungi pepohonan di halaman. Namun dimata Kundala Geni, Manggada dan Laksana telah berubah. Tidak lagi sebagai anak-anak muda yang garang, yang menghalangi niat mereka dan balikan menghantuinya meskipun Kundala yakin akan dapat mengalahkan mereka. Namun keduanya dimata Kundala kemudian tampak seperti anak-anak yang tidak tahu menahu tentang kerasnya benturan kepentingan uiatas bumi ini. Sorot matanya yang bersih dan lugu.

Kundala Geni menjadi semakin bimbang. Sehingga akhirnya ia hanya dapat berdesah untuk mengurangi sesak nafas didadanya.

Ki Gumrah memang cukup lama pergi. Sementara orang-orang yang berada di serambi rumahnya menjadi gelisah.

Namun akhirnya Ki Gumrah itu muncul di regol halaman rumahnya sambil menjinjing keranjangnya yang lelah kosong.

Sebelum orang-orang yang berada diserambi itu bertanya. Ki Gumrah sudah mendahului berkata. “Ada beberapa orang yang menyerahkan gula kelapanya, sehingga menunggu giliran untuk dihitung”.

“Apakah banyak orang yang nderes kelapa disini?” bertanya Kundala yang tidak sempat memikirkan pertanyaan yang lain.

Ki Gumrah mengangguk sambil menjawab, “Ya. Padukuhan ini adalah padukuhannva orang nderes kelapa. Hampir setiap kebun terdapat satu dua batang pohon kelapa yang disadap legennya untuk membuat gula kelapa”.

Kundala mengangguk kecil. Namun ia tidak bertanya lebih banyak lagi.

Sementara itu Ki Gumrah pun telah langsung masuk kedalam rumahnya sambil berkata, “Aku akan menyimpan keranjangku lebih dahulu”.

Manggada yang merasa jantungnya selalu dihinggapi berbagai pertanyaan itu telah bangkit dan menyusul orang tua itu kedalam. Ia sempat berkata kepada adik sepupunya, “Aku akan ke pakiwan sebentar”.

Laksana mengangguk, ia tidak tahu untuk apa Manggada masuk kcdalam rumah itu. Tetapi Laksana sudah mengira bahwa Manggada tidak benar-benar pergi ke pakiwan.

Sebenarnya Manggada hanya sekadar menyusul Ki Gumrah untuk bertanya, “Apa yang akan Kiai lakukan terhadap orang itu?”

Ki Gumrah mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan berbuat apa-apa atasnya. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi.”

“Tetapi itu akan sangat berbahaya bagi Kiai. Karena ia akan dapat datang lagi bersama banyak orang.” Berkata Manggada pula.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” justru orang tua itulah yang bertanya.

“Aku tidak tahu Kiai” jawab Manggada, “yang aku cemaskan, jika ia benar-benar datang dengan kekuatan yang lebih besar untuk merampas benda-benda berharga itu. Kundala sendiri adalah orang yang berilmu tinggi sebagaimana seorang kawannya yang melarikan diri”.

Ki Gumrah termangu-mangu. Katanya, “Anak muda, biarlah ia berbuat sesuai dengan keinginannya. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa atasnya”.

“Apakah Kiai tidak ingin mengetahui, siapakah yang telah memerintahkan orang itu datang kemari?” bertanya Manggada.

“Pertanyaan yang sia-sia ngger. Orang itu tentu tidak akan mengatakannya.” jawab Ki Gumrah.

“Tetapi Kiai perlu mengetahuinya.” sahut Manggada. Ki Gumrah tersenyum. Katanya, “Aku tentu tidak akan dapat memaksanya untuk mengatakannya dengan cara-cara yang tidak wajar. Bahkan seandainya ia menyebut satu nama, apakah dapat dijamin bahwa ia berkata jujur?”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mendesak terus.

Karena itu Manggada itu pun telah keluar lagi dari ruang dalam dan duduk diserambi bersama Laksana dan Kundala.

Beberapa saat kemudian, orang tua itu telah keluar pula sambil berkata, “Nah, duduklah kalian di serambi. Aku harus menanak nasi. Kemudian mencari bahan untuk masak di kebun belakang.”

Ketiga orang yang ada di serambi itu termangu-mangu. Namun Kundala ternyata tidak dapat menahan hatinya. Katanya, “Kiai. Apa yang sebenarnya Kiai inginkan atasku? Kiai jangan membiarkan aku menjadi gelisah seperti ini”.

“Kenapa kau menjadi gelisah?” bertanya Ki Gumrah, “Bukankah aku tidak berbuat sesuatu atasmu? Duduklah. Nanti kita akan makan bersama-sama”.

“Justru karena Kiai tidak berbuat apa-apa. Jika Kiai memaksa aku untuk mengaku, mengikat aku atau menyakiti aku agar aku mau berbicara. Itu masih dapat aku mengerti. Tetapi tidak seperti ini” berkata Kundala.

“Aku tidak mengerti maksudmu ngger” desis orang tua itu. Namun kemudian katanya, “Mungkin kau membayangkan langkah-langkah kasar yang dapat aku lakukan untuk mengetahui siapakah yang telah memerintahkan kau datang kemari. Tetapi bagiku, itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena kau dapat membohongi aku. Dan itu tentu kau lakukan”.

Kundala menjadi semakin bingung. Kemudian justru katanya, “Bagaimana jika aku melarikan diri? Atau kau memang mengharap aku berusaha melarikan diri sehingga kau mempunyai alasan untuk membunuhku?”

“Sekali lagi aku minta, kau jangan terlalu berprasangka buruk. Aku sama sekali tidak ingin menahanmu disini. Aku tidak berhak melakukannya jika kau akan pergi, maka kau dapat melakukannya kapan saja. Tetapi sudah tentu tidak pantas bagiku untuk mengusirmu dari tempat ini. Namun jika kau sendiri ingin meninggalkan kami, maka tidak akan ada persoalan.” berkata orang tua itu.

Kundala menjadi semakin bingung. Dalam kegelisahan itu ia berkata, “Tetapi Kiai tentu akan menyesal. Aku akan datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar untuk merampas pusaka-pusaka itu”.

“Sudah aku katakan pula” jawab orang tua itu, “aku akan mempertahankannya. Sokurlah jika pemiliknya sudah mengambilnya sebelum kau datang lagi”.

“Kiai benar-benar tidak dapat dimengerti” orang itu benar-benar menjadi bingung.

“Jangan berpikir yang aneh-aneh Ki Sanak” berkata orang tua itu.

Namun Kundala kemudian bangkit dan berkata lantang, “Aku akan pergi dari neraka ini. Aku merasa tersiksa disini. Jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Aku tidak peduli.”

Orang itu segera melangkah ke halaman meninggalkan serambi rumah Ki Gumrah. Sementara itu Manggada dan Laksana telah meloncat turun ke halaman.

Namun Ki Gumrah hanya tersenyum saja mengawasi orang yang melangkah menjauh itu.

Tetapi sebelum orang itu sampai ke regol halaman, ia pun telah berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya tampak sangat tegang. Bahkan katanya lantang, “Kiai. Kenapa kau tidak berbuat sesuatu? Kenapa kau tidak melempar aku dengan gelang-gelangmu, sehingga tulang leherku patah dan aku mati disini? Kenapa itu tidak kau lakukan?”

“Pergilah. Pergilah Ki Sanak. Seperti kawanmu yang telah pergi lebih dahulu, aku sama sekali tidak berkeberatan kau pergi, dan apapun yang akan kau lakukan kemudian.” berkata Ki Gumrah.

“Baik. Baik. Aku akan pergi. Kau kelak tentu akan menyesal.” geram orang itu.

Ki Gumrah tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Gumrah. Sampai hilang dibalik regol, orang itu tidak berpaling lagi.

Sepeninggal orang itu Manggada berkata, “Bukan saja orang itu yang tidak dapat mengerti, tetapi kami juga.”

“Ya. Justru akulah yang mengerti. Aku tahu bahwa kebiasaan kita adalah memaksa orang untuk berbicara. Kebiasaan kita, kita mempergunakan kekerasan dan menyakiti orang lain untuk memaksanya berbicara, sehingga cara yang lain tidak akan mudah untuk dimengerti.” berkata Ki Gumrah sambil tersenyum.

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Namun mereka pun ikut menengadahkan kepala mereka, ketika mereka melihat Ki Gumrah seakan-akan mencari sesuatu di langit.

Manggada dan Laksana terkejut. Mereka melihat seekor burung elang yang terbang berputaran di udara. “Elang itu” tiba-tiba Manggada berdesis, “Elang dari lingkaran ilmu hitam”.

Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia bertanya, “Kau pernah melihat elang itu?”

“Ya. Elang yang dilepaskan oleh seorang Panembahan yang pernah menggemparkan karena usahanya untuk membuat pusaka-pusakanya menjadi pusaka yang paling baik diseluruh muka bumi. Namun dengan cara yang tidak sewajarnya. Pusakanya harus meneguk darah seratus orang gadis”.

“Jadi kau mengenal Panembahan dari dunia hitam itu?” bertanya Ki Gumrah.

“Apakah Kiai juga mengenalnya?” bertanya Laksana tiba-tiba.

“Ya” Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian kembali ia mengawasi burung elang yang terbang semakin rendah. Katanya, “Kalian benar. Elang itu tentu bukan burung elang kebanyakan yang sedang mencari anak ayam. Ujung jari-jari kakinya yang kadang-kadang berkedip itu adalah logam untuk melengkapi agar elang itu mampu bertempur sesuai dengan kehendak Panembahan itu”.

“Ya” sahut Manggada, “ujung kaki elang itu dilengkapi dengan kuku-kuku buatan yang tajam”.

“Elang itu sedang mencari Kundala.” desis Ki Gumrah. Lalu katanya, “Nah, bukankah aku tidak perlu mengikat dan mencambuk Kundala untuk menanyakan siapakah yang telah memerintahkannya kemari?”

“Panembahan itu?” bertanya Manggada.

“Atau orang lain, namun sejalan dengan ilmu sesat yang dimilikinya,” jawab Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana menjadi semakin tertarik. Hampir diluar sadarnya Laksana bertanya, “Kiai juga mengenal Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi?”

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ketika aku melihat kalian bertempur, aku sudah menduga, meskipun landasan ilmumu bukan dari Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi, tetapi pada ilmu kalian terdapat bekas tangan mereka. Semula aku masih ragu-ragu. Tetapi sekarang aku pasti, bahwa kalian pernah tinggal di rumah Ki Ajar Pangukan”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun Laksana itupun berkata, “Jika Kundala ada hubungannya dengan Panembahan itu, bukankah ia orang yang sangat berbahaya?”

“Tetapi aku melihat sesuatu yang masih dapat diharapkan pada Kundala dan mungkin juga kawannya. Perasaannya masih hidup segar didalam jantungnya, sehingga aku masih berharap bahwa Kundala tidak benar-benar terbenam dalam putaran perbuatan Panembahan hitam itu.” berkata Ki Gumrah. Lalu katanya, “Aku berharap masih ada sedikit pikiran wajar pada Kundala, sehingga mudah-mudahan dapat tumbuh dan berkembang dihatinya. Tetapi jika ia tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh sesat itu, maka ia masih orang yang terbaik dari segalanya yang hitam itu”.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi Laksana masih bertanya, “Kiai, Panembahan yang memelihara elang itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tahu, bahwa Kiai pun berilmu tinggi. Tetapi jika ia membawa pengikut-pengikutnya setataran Kundala, sementara Kiai hanya seorang diri, apakah Kiai tidak merasa cemas? Mungkin Kiai sama sekali tidak mencemaskan jiwa Kiai sendiri. Tetapi seandainya Kiai gagal bertahan, pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan mereka? Apalagi Panembahan yang gagal membuat kerisnya menjadi pusaka terbaik dimuka bumi ini memerlukan pusaka lain yang tentunya dapat dianggap lebih baik dari kerisnya yang haus darah itu. Bahkan darah seratus orang gadis”.

Ki Gumrah tidak segera menjawab. Tetapi katanya, “Marilah, kita berbicara di dalam”.

Ketiganya kemudian masuk keruang dalam. Manggada dan Laksana membantu membawa mangkuk-mangkuk dan sisa makanan mereka.

Setelah meletakkan mangkuk mangkuk itu di belakang, maka mereka telah duduk diruang tengah.

“Biarlah nanti aku mencucinya” berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun mereka justru memandangi tirai sentong yang bergerak-gerak disentuh angin.

Namun kemudian terdengar orang tua itu berkata, “Aku tidak memperhitungkan kemungkinan. Panembahan iblis itu akan mengetahui bahwa aku berada disini”.

“Apakah Kiai mempunyai hubungan dengan Panembahan itu?” bertanya Manggada kemudian.

Ki Gumrah tidak segera menjawab. Namun ia justru bertanya, “Dimana angger berdua bertemu dengar. Panembahan itu? Apapula yang telah dilakukannya dengan kerisnya itu?’

Manggada pun kemudian lelah menceritakan apa yang pernah dilakukannya berdua dengan Laksana, ia pun berceritera tentang Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi yang bongkok. Manggada tidak merasa perlu untuk merahasiakan lagi karena menurut pendapatnya. Ki Gumrah adalah orang yang dapat dipercaya, ia bukan seorang yang berwatak seperti Panembahan Iblis itu. Bahkan sikapnya agaknya lebih lunak dari Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.

Namun Manggada dan Laksana masih belum tahu pasti, perbandingan ilmu antara orang tua itu dengan Panembahan berilmu sesat itu, serta dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.

Sementara itu Ki Gumrah mendengarkan ceritera Manggada dan Laksana dengan saksama. Sekali-sekali tampak keningnya berkerut. Namun kemudian ia mengangguk-angguk kecil.

Ketika Manggada selesai berceritera. Ki Gumrah berkata, “Menarik sekali. Ternyata dalam usia kalian yang muda, kalian telah mengalami banyak hal yang dapat memperkaya pengalaman kalian. Bukan saja pengalaman lahir tetapi juga pengalaman batin. Bahkan kalian telah berada di Nguter dan bersentuhan dengan kuasa Raden Panji Prangpranata. Tetapi apakah kalian tidak berkeberatan jika aku ingin tahu, siapakah sebenarnya kalian seutuh nya?”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Laksana. Namun Laksana pun tampak bimbang.

Tetapi Manggada yang sudah mempercayai orang tua itu akhirnya berceritera juga serba sedikit tentang dirinya dan adik sepupunya itu.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Aku belum mengenal pamanmu itu anak muda. Ia tentu seorang yang berilmu tinggi”.

“Tidak Kiai” jawab Laksana, “ayah bukan seorang yang berilmu tinggi seperti Kiai”.

Ki Gumrah tertawa. Katanya, “Seorang anak kadang-kadang memang tidak sempat melihat kelebihan ayahnya sendiri. Tetapi jika ayahmu bukan seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak akan dapat meletakkan dasar ilmunya sedalam yang telah kalian miliki. Meskipun Ki Ajar Pangukan telah ikut mengasahnya, namun dasar ilmu kalian telah kuat dan mapan. Hanya orang yang berilmu tinggi sajalah yang mampu melakukannya atas anak-anak semuda kalian”.

“Kiai terlalu memuji” desis Laksana.

“Baiklah. Orang tua kalian tentu mengajari kalian untuk menjadi seorang yang rendah hati. Seorang yang tidak menyombongkan kemampuannya. Namun melihat apa yang telah kalian lakukan terhadap orang-orang yang datang itu, maka aku dapat membaca tingkat kemampuan guru kalian itu.” berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah mereka tidak dapat mengukur kemampuan guru mereka, ayah Laksana.

Ki Gumrah yang telah mendengar ceritera tentang diri kedua anak muda itu kemudian berkata, “Jika demikian ngger. sebaiknya kalian meneruskan perjalanan kalian. Ayah angger Manggada tentu sudah menunggu. Dalam perjalanan pulang, angger berdua telah banyak kehilangan waktu di perjalanan”.

“Ya Kiai.” jawab Manggada., “tetapi kedatangan Kundala dan kawannya itu rasa-rasanya telah menahan kami berdua disini. Meskipun barangkali kami tidak mampu berbuat sesuatu, tetapi rasa-rasanya tidak adil untuk pergi begitu saja setelah kami menyebut diri kami sebagai cucu-cucu Kiai”.

“Aku tahu ngger. Kalian berdua selain memiliki landasan ilmu yang mantap, juga bukan orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kalian tidak ingin melihat orang lain mengalami kesulitan tanpa berbuat sesuatu. Untuk itu aku sangat berterima kasih. Tetapi akupun tidak dapat membiarkan kalian ikut terjerat dalam kesulitan-kesulitan yang akan dapat mengancam keselamatan kalian.” Jawab orang tua itu.

“Mungkin kami akan menjadi beban Kiai. Tetapi biarlah kami mohon diijinkan tinggal disini barang dua tiga hari.” berkata Manggada kemudian.

Ki Gumrah menarik nafas panjang. Katanya, “Persoalanku tidak akan selesai dalam dua tiga hari ini justru tidak akan terjadi sesuatu. Bagaimana dengan kalian jika persoalanku ini akan berkepanjangan sampai berbilang tahun”.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat begitu saja meninggalkan rumah itu. Karena itu, maka Laksana pun kemudian berkata, “Kiai. Apapun yang akan terjadi, biarlah kami tinggal dirumah ini sampai saatnya kami mohon diri. Kami senang dengan kehidupan dirumah ini. Menyadap legen setiap pagi dan sore. Membuat gula kelapa dan merebus ketela.”

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang ingin tinggal disini. Tetapi sebenarnya aku ingin kalian tidak terpercik getah dari nangka yang tidak kalian makan”.

“Kamilah yang menginginkannya. Kiai” jawab Laksana.

“Aku tidak dapat menolaknya. Selain kalian memang ingin menolong aku, maka kalian pun ingin mendapatkan pengalaman yang seluas-luasnya. Tetapi sebenarnya tempat ini tempat yang sangat berbahaya bagi kalian. Bahkan tidak kalah berbahayanya dengan daerah yang luas dibawah pengaruh Panembahan Hitam itu. Tidak pula kurang bahayanya dan lingkungan kuasa Raden Panji Prangpranata yang kehilangan calon isterinya itu.” Berkata Ki Gumrah.

“Terima kasih Kiai” sahut Manggada dan Laksana hampir berbareng.

Dengan demikian, maka dalam satu dua hari, Manggada dan Laksana akan berada dirumah itu. Memang mendebarkan, tetapi keduanya rasa-rasanya berkewajiban untuk melakukannya.

Karena itulah, maka Manggada da Laksana telah sempat membersihkan halaman depan, yang tampaknya tidak begitu bersih. Memotong dahan yang mulai mengering dari pepohonan yang tumbuh dihalaman, agar daunnya yang dengan cepat menguning tidak runtuh dihalaman.

Ki Gumrah melihat kedua anak muda itu dengan jantung yang berdebaran. Keduanya bukan saja berilmu, tetapi keduanya ternyata anak-anak muda yang rajin bekerja.

Setelah sehari keduanya tinggal dirumah Ki Gumrah, maka halaman rumah itu kelihatan lebih bersih. Pepohonan-pun seakan-akan telah dipangkas rapi. Jambangan di pakiwan pun menjadi bersih pula. Lumut yang kehijauan telah dibersihkan. Batang sirih yang tumbuh didekat pakiwan dan merambat ke segala penjuru, telah ditertibkan pula. Meskipun Ki Gumrah tidak makan sirih, tetapi daun sirih adalah daun yang dapat dibuat berbagai macam obat. Di halaman belakang empon-empon yang merupakan bagian dari tanaman-tanaman yang mampu dibuat obat pula, telah disiangi sehingga akan dapat menjadi lebih subur.

Namun ketika malam turun, setelah kedua anak muda itu berada di pembaringan, mereka masih juga berbisik yang satu kepada yang lain, “Jangan terlalu nyenyak tidur”.

Tetapi lewat tengah malam, maka kedua anak muda itu benar-benar telah tertidur nyenyak.

Diluar pengetahuan mereka, ketika Ki Gumrah kemudian keluar dari biliknya. Dengan sangat hati-hati, orang itu telah duduk diamben yang cukup besar, tempat Manggada dan Laksana tidur. Ternyata orang tua itu dapat duduk diamben bambu tanpa berderit dan tanpa membangunkan kedua anak muda yang tertidur nyenyak itu.

Dipandanginya wajah kedua anak muda yang memang agak mirip yang satu dengan saudara sepupu. Wajah yang kosong itu tampak bersih, seakan-akan keduanya masih belum menyentuh gejolak kehidupan yang keras dan kadang-kadang terasa buas.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah kedua anak muda itu terbayang masa depan. Diluar sadarnya Ki Gumrah itu berdesis, “Keduanya akan menjadi bagian dari dunia olah kanuragan dimasa depan. Jika saja ada beberapa orang lagi dari antara mereka yang berilmu memiliki jiwa seperti anak itu, maka lingkungannya tentu akan menjadi tenang dan terlindung dari nafsu rendah.”

Beberapa saat Ki Gumrah duduk menunggui kedua anak muda yang tidur nyenyak itu. Bahkan kemudian seakan-akan ia akan melakukannya sampai pagi. Sambil bersandar dinding, orang tua itu menyilangkan tangannya didada.

Namun tiba-tiba saja dahi orang tua itu berkerut. Telinganya yang tajam telah menangkap desir halus diluar dinding rumahnya.

Untuk beberapa saat Ki Gumrah tidak berbuat sesuatu, la mendengarkan saja desir itu menyusuri dinding rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Namun kemudian seakan-akan telah menghilang disudut belakang.

Tetapi Ki Gumrah tahu bahwa desir itu tentu masih belum akan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan kemudian Ki Gumrah mendengar bukan saja desir lembut, tetapi desis suara orang berbisik perlahan sekali.

Suara itu jelas dan pasti. Ki Gumrah tahu, bahwa ada lebih dari seorang diluar rumahnya. Namun Ki Gumrah tidak mendengar apa yang dibicarakan.

Ketika desir langkah orang itu menjauh lagi, memutari rumahnya, Ki Gumrah bergeser turun dari amben itu dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan anak-anak muda itu. Tetapi ia pun tidak ingin membiarkan anak-anak muda itu dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka ketahui karena mereka masih tertidur nyenyak.

Karena itu, Ketika Ki Gumrah sudah berdiri dilantai rumahnya, ia pun menyentuh Manggada pada kakinya.

Manggada memang terkejut, ia cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, iapun segera bangkit duduk.

Namun sementara itu, Ki Gumrah yang sudah berdiri itu memberikan isyarat agar Manggada tidak berbicara apapun juga dengan meletakkan jari-jari tangannya di mulutnya.

Manggada mengerutkan keningnya. Namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya. Karena itu, iapun tidak betanya apapun kepada Ki Gumrah. Bahkan dengan hati-hati iapun telah turun dari amben.

Ki Gumrah memberi isyarat lagi. bahwa ia masih mendengar sesuatu. Suara itu memang sudah berpindah lagi di dinding bagian depan rumahnya. Bahkan mereka mendengar suara derit amben di serambi. Agaknya orang-orang yang ada diluar itu telah duduk di amben di serambi rumahnya.

Dengan hati-hati pula Manggada telah membangunkan Laksana. Namun secepat Laksana bangun, secepat itu pula Manggada memberikan isyarat agar ia juga tidak bertanya sesuatu.

Demikianlah, ketiga orang itu pun segera mengatur diri. Laksana tetap berada di tempatnya, sementara Manggada akan pergi ke belakang. Sedangkan Ki Gumrah sendiri akan pergi ke sentong tempat ia menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkannya kepadanya itu.

Perlahan-lahan sekali Ki Gumrah berdesis, “Hati-hatilah. Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain untuk mengambil barang-barang berharga itu”.

Demikianlah mereka bertiga telah membagi diri. Beberapa saat mereka menunggu. Seperti diperhitungkan oleh Ki Gumrah maka sejenak kemudian, desir langkah itu terdengar lagi dan berhenti diluar sentong tempat benda-benda berharga itu disimpan.

Ki Gumrah yang berada di sentong itu duduk dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan Ki Gumrah telah mengatur pernafasan sebaik-baiknya, agar tidak terdengar oleh orang-orang yang berada diluar rumahnya.

“Dinding sentong ini rangkap” desis orang yang diluar.

“Ya” sahut yang lain sambil berbisik, “kita tidak dapat melihat kedalam. Tetapi tampaknya dinding ini tidak terlalu kuat”.

Untuk beberapa saat tidak terdengar mereka berbicara lagi. Tetapi Ki Gumrah dengan pendengarannya yang sangat tajam masih mendengar tarikan nafas mereka. Karena itu, Ki Gumrah tahu bahwa orang-orang yang ada diluar rumahnya itu sedang melihat kemungkinan untuk merusak dinding sentong itu.

Tetapi sejenak kemudian terdengar seorang diantara mereka berkata, “Apakah kita akan membuat lubang dibawah dinding untuk masuk?”

“Rumah ini diberi sasak bambu berkeliling. Jika menggali tanah dibawah dinding, maka galian itu tentu akan panjang sekali sampai keruang tengah rumah ini.” jawab yang lain.

“Jadi apa yang kita lakukan?” bertanya orang yang pertama

Mereka kembali diam. Namun tiba-tiba tiang di sudut sentong itu berguncang. Agaknya salah seorang diantara mereka mencoba untuk mengetahui kekuatan tiang bambu disudut sentong itu.

Tetapi agaknya orang-orang itu tidak memperhatikan, bahwa tiang itu dipergunakan oleh Ki Gumrah untuk menyangkutkan palang bambu jemuran yang meskipun tidak panjang, namun telah mengguncang cabang sebatang pohon waru pula, karena ujung bambu itu terikat pada pohon waru itu.

Guncangan itu sendiri tidak menimbulkan bunyi terlalu keras dan tidak akan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak. Tetapi karena bambu itu tidak terlalu kuat terikat pada tiang sentong di bagian luar itu, maka bambu jemuran itu telah terjatuh hampir saja menimpa orang yang mengguncang tiang itu, sehingga orang itu telah meloncat ke samping.

Bunyi bambu yang terjatuh itu telah menghentak sepinya malam, Terdengar orang yang ada diluar itu mengumpat. Namun kemudian terdengar langkah cepat menjauh.

Agaknya bambu yang terjatuh itu telah mengejutkan orang-orang yang ada di luar rumah Ki Gumrah, sehingga mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu, yang berkemampuan tinggi, tentu akan terbangun juga.

Manggada dan Laksana yang juga terkejut mendengar suara itu, dengan serta merta telah berlari ke sentong tempat Ki Gumrah menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkan kepadanya itu.

Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Ki Gumrah masih duduk dengan tenang menunggui pusaka-pusaka itu.

“Aku mendengar suara” desis Manggada.

“Sepotong bambu yang terjatuh diluar” jawab Ki Gumrah.

“Dan suara orang berjalan tergesa-gesa” sambung Laksana.

“Kita kehilangan mereka” berkata Ki Gumrah, “aku berharap mereka masuk ke sentong itu. Aku ingih berbicara dengan mereka. Tetapi karena ketergesa-gesaan mereka, atau kurang berhati-hati, maka bambu jemuran itu telah terjatuh.” jawab Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tidak bertanya lagi. Apalagi Ki Gumrah kemudian telah mengajak anak-anak muda duduk diruang dalam.

“Ternyata mereka begitu cepat kembali. Meskipun mungkin bukan Kundala dan kawannya yang datang sebelumnya. Tetapi orang yang memerintahkan mereka mengambil pusaka-pusaka itu tentu sudah mendapat laporan tentang kegagalan yang dialami oleh Kundala dan kawannya.” berkata Ki Gumrah.

“Bukankah mereka sangat berbahaya bagi Kiai” desis Manggada.

“Sayang sekali bahwa aku tidak dapat berbicara dengan orang-orang yang datang itu” desis Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun Manggada kemudian berkata, “Kiai. Besok atau lusa, mereka tentu akan datang lagi. Mungkin dengan cara sebagaimana dilakukan hari ini. Tetapi mungkin dengan cara yang lebih kasar. Karena itu, apakah Kiai tidak mempunyai cara lain untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Itu? Apakah Kiai pernah berhubungan dengan Ki Bekel atau Ki Demang, sehingga Kiai akan mendapatkan perlindungan. Maksudku, dengan jumlah yang banyak. Anak-anak muda dipadukuhan ini akan dapat membantu Kiai menjaga pusaka-pusaka itu”.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Angger berdua. Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan banyak orang dalam hal ini. Coba bayangkan, seandainya anak-anak muda padukuhan ini terlibat, maka persoalannya akan berkembang semakin jauh. Jika orang yang memelihara burung elang itu datang bersama sepuluh orang saja, maka anak-anak muda di padukuhan itu tentu akan dibantai habis. Nah, apakah aku masih akan dapat tidur nyenyak dan makan minum dengan enak jika hal seperti itu terjadi? Bukan hanya untuk satu dua hari. Tetapi tentu sepanjang hidupku”.

“Bagaimana jika Kiai meninggalkan tempat ini dan tinggal ditempat lain? Minta perlindungan prajurit Pajang misalnya?” bertanya Laksana.

“Apakah aku masih harus menjadi beban tugas para prajurit yang sudah mempunyai beban tugas yang berat? Memang tugas prajurit adalah melindungi rakyatnya. Tetapi aku tidak tahu apakah pusaka-pusaka itu tidak malah menimbulkan persoalan? Jika para prajurit itu memerintahkan aku menyerahku, pusaka-pusaka itu, maka aku akan menjadi semakin bingung. Apa yang dapat aku katakan kepada pemiliknya kepadaku.” desis Kiai Gumrah.

“Kiai dapat berterus-terang bahwa pusaka-pusaka itu telah mengancam keselamatan Kiai. Apakah Kiai harus mengorbankan jiwa Kiai untuk mempertahankan pusaka-pusaka yang sekadar titipan, sementara yang menitipkan pusaka-pusaka itu tidak mengetahui bahaya yang datang ke rumah ini? Orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu dapat saja marah, menuntut atau menganggap Kiai tidak memegang janji. Tetapi apakah ia tahu apa yang telah terjadi dengan Kiai?” bertanya Manggada.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pendapat itu wajar sekali ngger. Tetapi aku tidak dapat melakukannya”.

“Kenapa? Sampai sejauh mana orang harus memegang janji kepada seseorang yang tidak mau tahu tentang kesulitan-kesulitan kita.” desak Laksana.

“Sudahlah” jawab orang tua itu, “penalaranku tidak menolak pendapat itu. Tetapi perasaanku tidak dapat melakukannya. Jika angger berdua bertanya keseimbangan antara penalaran dan perasaan, maka aku akan menjadi semakin bingung. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat melakukannya.”

Manggada dan Laksana tidak mendesak lagi. Tampaknya orang tua itu tidak ingin mengganggu orang lain sebagaimana mereka berdua yang didesak untuk meninggalkan rumah itu saat rumah itu akan didatangi Kundala dan kawannya untuk mengambil benda-benda yang berharga sangat tinggi itu.

“Sudahlah” berkata orang tua itu kemudian, “sekarang kembalilah ke pembaringan. Masih ada waktu untuk tidur”.

“Apakah Kiai tidak akan tidur?” bertanya Laksana.

“Aku akan tidur disini saja” berkata Ki Gumrah sambil mengambil segulungan tikar di sudut bilik itu dan membentangkannya di sebelah ploncon tempat benda-benda yang sangat mahal itu diletakkan.

Manggada dan Laksana pun segera kembali ke amben mereka dan berbaring di tempat semula. Namun mereka tidak segera dapat tertidur nyenyak. Meskipun keduanya tidak berbicara diantara mereka, namun angan-angan mereka masih saja diliputi oleh berbagai macam pertanyaan tentang pusaka-pusaka yang dihiasi dengan permata dan orang yang menitipkannya.

“Aku tidak yakin bahwa emas dan permata itu hanya tiruan” berkata Manggada tiba-tiba hampir berbisik.

Laksana yang berbaring menelentang menatap atap, berpaling sambil berdesis perlahan, “Ya. Agaknya orang tua itu bermaksud berhati-hati. Orang itu belum mengenal kita dengan baik, sehingga ia sengaja menyebut emas dan permata itu hanya tiruan”.

Keduanya terdiam. Sementara itu, diluar suara cengkerik dan bilalang bersahutan: Sekali-sekali terdengar gonggong anjing liar dikejauhan. Namun akhirnya Manggada dan Laksana sempat tertidur lagi beberapa saat.

Pagi-pagi benar, kedua anak muda itu sudah terbangun. Tetapi ternyata Ki Gumrah telah bangun lebih dahulu. Karena itu, ketika keduanya kemudian duduk di amben tempat mereka tidur, Ki Gumrah berkata, “Nah, mandilah. Aku sudah menjelang air. Hampir mendidih. Aku membuat wedang sere”.

Kedua anak muda itupun kemudian pergi ke pakiwan. Bergantian mereka menimba air dan mandi.

Sejenak kemudian keduanya telah duduk di serambi sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa yang masih hangat. Di silirnya angin pagi yang sejuk, terasa tubuh-tubuh mereka menjadi segar.

“Nah” berkata orang tua itu, “sekarang aku akan mengambil legen dan menurunkannya selagi masih pagi”.

“Kiai akan membuat gula hari ini?” bertanya Manggada.

“Bukankah itu pekerjaanku sehari-hari?” Ki Gumrah justru bertanya sambil tersenyum.

“Apakah aku boleh mencoba mengambil legen itu Kiai?” bertanya Laksana.

“Jangan ngger. Jika kita salah memotong ujung manggar itu, maka legen itu tidak akan menitik dan bahkan mungkin akan kering untuk selanjutnya.” jawab Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara Kiai Gumrah pergi ke kebun dan memanjat beberapa batang pohon kelapa, kedua anak muda itu seperti hari-hari yang lewat, membantu membersihkan halaman dan kebun yang nampak menjadi semakin bersih itu.

Untuk beberapa saat mereka dapat bekerja dengan tenang. Ki Gumrah dengan tangkasnya memanjat batang-batang pohon kelapa, sementara Manggada dan Laksana telah memotong pohon-pohon perdu yang hanya membuat kebun menjadi tampak kotor dan bersemak.

Namun ketika Ki Gumrah telah menyimpan legen di dapur untuk dipanasi, maka orang tua itu mulai menjadi gelisah. Semula Manggada dan Laksana tidak tahu, kenapa orang tua itu beberapa kali keluar masuk dapur. Namun kemudian keduanya melihat Ki Gumrah itu setiap kali menengadahkan wajannya.

Manggada dan Laksana pun segera mengetahui. Ternyata orang tua itu telah melihat lagi burung elang yang terbang mengitari rumah itu. Bahkan sekali-sekali menukik rendah, kemudian naik lagi berputaran.

Kedua anak muda itupun kemudian telah berdiri di halaman belakang untuk melihat burung elang yang terbang berputaran itu.

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Kenapa orang itu masih saja dikendalikan oleh ketamakan hatinya?”

Manggada dan Laksana memang menduga, bahwa Ki Gumrah dan orang yang memiliki burung elang itu telah saling mengenal dan mempunyai hubungan khusus. Tetapi kedua anak muda itu tidak akan dengan mudah mengetahui lebih banyak tentang Ki Gumrah, karena orang tua itu tidak begitu terbuka hatinya.

Namun ketika burung elang itu kemudian terbang menjauh, Ki Gumrah itu berpaling, memandang kedua anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sambil melangkah mendekati Ki Gumrah berkata, “Anak-anak muda. Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan kalian meninggalkan tempat ini. Tetapi aku tahu pasti, bahwa kalian agaknya memang tidak berniat untuk pergi”.

“Kami memang ingin berada disini untuk beberapa lama Kiai” jawab Manggada.

“Kalian lihat burung elang itu lagi?” bertanya Ki Gumrah.

“Ya” jawab Manggada.

“Burung itu berputar lebih dari empat kali. Menukik seakan-akan ingin menyambar rumah ini, kemudian terbang lagi dan berputar lima kali. Sekali lagi burung itu menukik. Kemudian berputar-putar lagi” berkata orang tua itu.

“Kiai sempat menghitung? Apakah hitungan itu ada artinya?” bertanya Manggada.

“Adalah kebetulan bahwa aku juga mengenali isyarat itu. Dari kejauhan, pemilik burung itu atau orang yang dipercayainya melihat pula isyarat itu?” jawab Ki Gumrah.

“Apakah arti isyarat itu?” bertanya Laksana.

“Aku tidak tahu dengan tepat, Namun elang itu mengatakan bahwa yang dicari masih ada disini. Rumah ini masih belum dikosongkan.” jawab Ki Gumrah.

“Bagaimana jika kita berada didalam rumah?” bertanya Laksana pula.

“Elang itu tahu. Mungkin nalurinya lebih tajam dari kita, sehingga elang itu dapat mengetahui apakah sebuah rumah itu kosong atau ada penghuninya. Bahkan seandainya penghuninya tidak sedang berada di rumah.” berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gumrah mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan orang yang memiliki burung elang itu, meskipun mungkir, hubungan itu adalah hubungan permusuhan.

Selagi Manggada dan Laksana termangu-mangu, maka orang itupun berkata, “Anak-anak muda. Menilik isyarat yang diberikan oleh burung elang itu, maka kita memang harus lebih berhati-hati. Sebenarnya aku ingin kalian tidak usah terlibat semakin jauh. Bukankah orang tua kalian masih selalu menunggu kalian pulang dengan membawa ilmu dan pengetahuan tentang hidup dan kehidupan? Jika kalian tertahan disini untuk satu keperluan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kalian, maka orang tua kalian tentu akan sangat kecewa”.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun Manggada pun kemudian berkata, “Tidak Kiai. Jika ayah minta agar aku mempelajari ilmu dan pengetahuan, sudah barang tentu tidak hanya sekedar memiliki ilmu dan pengetahuan itu harus aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari”.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku memang tidak berkeberatan kalian tinggal disini. Mungkin kalian akan mendapatkan pengalaman yang penting bagi kalian dihari depan. Tetapi kalian pun harus tahu bahaya yang dapat mencengkam kalian setiap saat.”

“Itu adalah kemungkinan yang harus kami perhitungkan Kiai” jawab Manggada.

Namun pembicaraan mereka terputus, ketika tiba-tiba saja seseorang mengendap-endap melingkari rumah Ki Gumrah dan langsung pergi ke belakang.

“Kau?” desis Ki Gumrah sedikit terkejut.

“Ya Kiai. Kiai tidak lupa kepadaku?” bertanya orang itu.

“Baru kemarin kau datang. Sudah tentu aku tidak lupa” jawab Ki Gumrah.

“Kundala” desis Manggada.

“Ya. Aku hanya sempat singgah sesaat saja. Itu pun aku harus menyembunyikan diri dari penglihatan burung elang keparat itu.” jawab Kundala.

Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Jika demikian elang itu tentu mengawasi perjalananmu”.

“Ya. Aku mendapat perintah dari Ki Lurah untuk melihat-lihat keadaan pasar. Ki Lurah telah berhubungan dengan seseorang. Aku harus menemui orang itu dan membawanya menemui Ki Lurah.” jawab Kundala.

“Mana orang itu sekarang?” bertanya Ki Gumrah.

“Aku belum sampai ke pasar. Aku telah berusaha untuk melepaskan diri dari pengamatan burung itu. Tampaknya burung itupun curiga bahwa aku akan datang kemari.” berkata Kundala dengan gelisah.

“Jika demikian, dugaanku salah. Aku kira aku dapat menebak tingkah laku elang itu. Aku kira elang itu memberi isyarat bahwa rumah ini masih berpenghuni” berkata Ki Gumrah sambil tertawa kecil.

“Ya. Kiai benar” jawab Kundala, “aku melihat sikap elang itu dari kejauhan. Selain mengabarkan bahwa aku tidak berada disini, maka elang itu juga mengatakan bahwa rumah ini masih berpenghuni”.

“Darimana kau tahu” bertanya Manggada.

“Aku melihatnya dari kejauhan, dari bawah sebatang pohon gayam.” jawab Kundala.

Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Lalu. apa sebenarnya maksudmu datang kemari”.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Lurah akan mengambil pusaka itu sendiri. Maksudku, ia sendiri akan datang kemari bersama orang yang harus aku jemput di pasar.”

“Siapa yang kau sebut Ki Lurah itu? Seorang yang mengaku Panembahan?” bertanya Ki Gumrah.

“Tidak” jawab orang itu, “tetapi ia menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma. Tetapi aku memang sering mendengar Kiai Windu Kusuma menyebut-nyebut tentang seorang Panembahan. Tetapi bukan dirinya sendiri.”

Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengar, nada rendah ia berkata, “Apa sebenarnya yang mereka kehendaki?”

“Sudah jelas Kiai. Pusaka pusaka itu” jawab Kundala, “karena itu sebaiknya Kiai meninggalkan tempat ini sebelum senja. Jika langit menjadi gelap, maka aku kira burung itu tidak akan dapat mengawasi perjalanan Kiai sebaik-baiknya. Kemanapun asal meninggalkan rumah ini.”

“Tetapi aku tidak dapat pergi kemanapun. Seandainya nanti menjelang senja aku pergi, akhirnya aku harus kembali lagi.” desis Kiai Gumrah.

“Tetapi menilik apa yang ada di rumah ini maka yang paling berharga adalah pusaka-pusaka itu dan nyawa Kiai sendiri. Nyawa Kiai tentu lebih berharga dari perabot-perabot rumah yang sederhana ini. Kiai dan cucu-cucu Kiai akan dapat membawa pusaka-pusaka itu kemanapun” berkata Kundala. Lalu katanya pula., “Kiai dapat mengalahkan kami berdua. Tetapi jika Ki Lurah sendiri dan seorang kawannya yang aku jemput di pasar nanti yang datang kemari, tentu Kiai dan kedua cucu Kiai akan mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka membawa kami berdua dan seorang kawan kami yang lain. Maka kami berlima, tentu tidak akan dapat Kiai lawan bersama kedua cucu Kiai itu.”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “terima kasih. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kau telah memberitahukan kepadaku, bahaya yang sedang mengintip rumah ini. Baiklah. Aku akan memikirkannya sebaik-baiknya.”

“Aku mohon Kiai mengerti” berkata Kundala yang segera minta diri, “sudahlah. Aku harus pergi ke pasar.”

Kundala tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meninggalkan Ki Gumrah dan kedua orang anak muda yang ada dirumah itu pula. Sekali-sekali Kundala masih menengadahkan kepalanya untuk melihat apakah burung elang yang menghantuinya itu masih nampak dilangit.

Namun agaknya elang itu benar-benar telah pergi. Sehingga dengan demikian maka Kundala dapat berjalan cepat-cepat menuju ke pasar. Meskipun ia sadar, bahwa tentu ada orang yang mengamati isyarat burung elang itu. Tetapi tentu tidak dari jarak yang terlalu dekat.

Sepeninggal Kundala, Ki Gumrah menarik nafas dalamdalam. Namun katanya, “Aku harus segera membuat gula. Aku harus segera menyerahkan kepada pedagang gula itu. Nampaknya kita memang harus segera mengambil keputusan.”

“Aku sependapat dengan orang itu Kiai” berkata Manggada, “Kiai harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu.”

“Nanti sajalah kita bicarakan. Sekarang bantu aku membuat gula. He, sebaiknya kalian ambil ketela pohon dan mengupasnya. Nanti kita masukkan lagi kedalam legen setelah aku hampir selesai” berkata Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Berita yang dibawa Kundala itu bagi mereka merupakan berita yang penting. Yang harus mereka tanggapi dengan sungguh-sungguh. Tetapi orang tua itu masih saja sibuk dengan gulanya.

Namun Manggada dan Laksana pergi juga ke kebun untuk mencabut sebatang pohon ketela yang dianggapnya berakar besar dan lebat. Namun keduanya masih juga berbincang tentang orang tua itu.

“Orang yang aneh” berkata Manggada, “jika orang yang akan datang itu memiliki ilmu lebih baik dari Kundala, maka orang itu tentu sangat berbahaya. Apalagi jika ia tidak datang seorang diri.”

Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah Ki Gumrah terlalu yakin akan kemampuannya sehingga ia menganggap ilmu orang lain terlalu rendah?”

“Tetapi bukan sifatnya. Menilik apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan, ia bukan orang yang meremehkan orang lain” jawab Manggada.

“Ya. Tetapi nampaknya kita tidak akan dengan mudah mengetahui latar beiakang sikapnya” berkata Laksana kemudian.

“Aku menjadi semakin tertarik untuk mengetahuinya meskipun sangat berbahaya” berkata Manggada.

“Ya. Aku juga tidak ingin menghindar. Tetapi dengan kemungkinan yang sangat buruk. Kita akan dapat tidak keluar dari rumah ini untuk selama-lamanya” desis Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Bahkan iapun berdesis, “Sementara itu kita tidak tahu, kenapa kita tertahan disini selain sekedar ingin tahu.”

Namun kedua anak muda itu kemudian sepakat untuk tidak meninggalkan ramah itu, setidak-tidaknya sampai senja.

Mereka masih mendapat kesempatan untuk berpikir beberapa lama.

Karena itu, maka keduanya pun telah mengupas ketela pohon yang kemudian mereka cuci di sumur.

Ketika mereka sampai di dapur, orang tua itu masih sibuk memanasi bakal gula kelapanya. Keringatnya nampak membasahi kening dan lehernya. Namun orang itu sambil tersenyum berkata, “Nah, kita akan memasukkannya nanti. Letakkan saja dipagar itu. Kalian dapat menunggu di serambi depan.”

“Aku ingin membantu membuat gula itu Kiai” jawab Manggada.

Orang tua itu tertawa. Tetapi ia tidak mengusir kedua orang anak itu.

 

Bersambung ke jilid 2

 

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

Diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Satu Tanggapan

  1. Saya sudah berumur 73 tahun tapi masih suka baca silat dan dongeng sejarah. Khususnya silat Jawa. Terima kasih banyak ada ruang baca ini.

Tinggalkan komentar